Teks tersebut membahas ketimpangan antara UN Matematika dan kecakapan modern yang diukur oleh PISA. UN Matematika lebih fokus pada pemecahan masalah rutin dan ketrampilan hitung, bukan kemampuan menghadapi masalah baru atau proses matematisasi utuh seperti yang diukur PISA. Hal ini berdampak pada kelemahan siswa Indonesia dalam menyelesaikan masalah tak rutin dan memodelkan situasi nyata ke dalam masalah matematika.
2. Iwan Pranoto
UN Matematika Menyiapkan Anak
Indonesia Menjadi Kuli Nirnalar
Republik Telah Menyerobot Kesempatan Anak Bangsa Bernalar
Pendidikan dasar dan menengah sampai tinggi di sejarah Indonesia pegang peranan penting.
Kemerdekaan Republik ini sampai pembangunannya juga berkat pendidikannya. Pendidikan sebagai
sebuah unsur esensial dalam dinamika perkembangan Bangsa ini akan berdampak pada masa
mendatang. Pada era lampau pendidikan itu berdampak sekitar 20 tahun. Pendidikan era 20-an
berdampak pada era 45. Namun, dengan berjalannya waktu, pada masa sekarang, jangka tunda dari
pendidikan dan dampaknya menjadi semakin singkat. Jika di masa lampau pertanyaan para pendidik dan
rakyat adalah bagaimana kesiapan putra-putri Bangsa untuk mampu hidup di usia dewasanya, sekarang
para pendidik, rakyat, dan juga para ekonom adalah bagaimana kesiapan putra-putri Bangsa untuk
mampu berfungsi efektif di percaturan dunia global masa kini. Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan
utama para pakar di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi yang
terdiri dari banyak negara maju dan berkembang ini berangkat dari pertanyaan: “Kecakapan apa yang
dibutuhkan untuk dapat berfungsi efektif dalam kehidupan di Abad 21?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para pakar OECD memanfaatkan studi bersama oleh Richard J.
Murnane dan Frank Levy. Hasil riset bersama pakar pendidikan dan ekonomi urban, masing-masing dari
MIT dan Universitas Harvard ini mengenali kecenderungan kecakapan yang semakin dibutuhkan dan
kecakapan yang semakin tak dibutuhkan. Dan pemahaman tentang kecakapan baru ini yang menjadi
dasar OECD dalam menyusun Programme for International Student Assessment (PISA). Secara ringkas,
dalam studi mereka, dikenali beberapa kecakapan yang cenderung semakin dibutuhkan dan beberapa
kecakapan yang semakin tak
dibutuhkan. Secara grafik, hasil studi
mereka disajikan dalam diagram
Gambar 1, dikutip dari (Trilling dan
Fadel, 2009, hal. 8). Dari situ,
tampak bahwa kecakapan yang
memiliki kecenderungan semakin
dibutuhkan adalah:
1. Berkomunikasi kompleks
(complex communication)
2. Berpikir pakar (expert
thinking)
Sedangkan sebaliknya, kecakapan
yang cenderung paling semakin tak
Gambar 1 Kecenderungan Kebutuhan Jenis Kecakapan
1
3. Iwan Pranoto
dibutuhkan adalah kognitif rutin (routine cognitive).
Yang dimaksud sebagai berkomunikasi kompleks adalah upaya menyampaikan pendapat untuk
mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Artinya, kecakapan ini tidak saja pada kemampuan untuk
menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh lagi harus sampai meyakinkan pendengarnya. Misalnya, upaya
meyakinkan orang lain untuk membuang sampah di tempatnya atau memisahkan sampah organik dan
anorganik. Kecakapan berkomunikasi seperti ini yang semain dibutuhkan pada berbagai profesi.
Misalnya seorang manajer yang harus meyakinkan bawahannya untuk berprestasi. Kemudian, yang
dimaksud sebagai berpikir pakar adalah kecakapan untuk memecahkan masalah yang belum diketahui
cara pengerjaannya. Masalah-masalah jaman sekarang, seperti di dunia kedokteran, misalnya, muncul
sebagai berbagai penyakit baru yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Ini berarti bahwa manusia
modern dituntut untuk mampu memecahkan masalah tak rutin. Kata “tak rutin” di sini sangat penting,
karena berarti manusia modern harus cakap dan terbiasa menghadapi masalah-masalah baru.
Dari gambaran kecenderungan kebutuhan kecakapan itu, OECD dengan PISAnya membuat rangkaian
soal untuk menguji kesiapan siswa-siswa berumur 15 tahun terhadap pencapaian setidaknya dua
kecakapan tersebut. Asesmen ini sudah dilakukan pada tahun 2000, 2003, 2006, dan 2009. Indonesia
turut serta dalam semua asesmen ini sejak tahun 2000. Hasilnya, dalam asesmen literasi matematika
PISA dari tahun 2000-2009, secara umum dapat disimpulkan tiga masalah berikut:
M1. Siswa kita tidak terbiasa menyelesaikan permasalahan tak rutin. Ini berarti bahwa siswa kita
hanya biasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang sudah dibahas di kelas. Mereka
kesulitan jika menghadapi permasalahan baru.
M2. Siswa kita lemah dalam memodelkan situasi nyata ke masalah matematika dan menafsirkan
solusi matematika ke situasi nyata. Padahal kecakapan bermatematika yang dituntut dunia
adalah kecakapan bermatematika yang utuh: dari memodelkan, mencari solusi matematika,
menafsirkan ke masalah awal. Siswa-siswi di RI umumnya terbiasa mengerjakan Tahap 4 semata,
seperti di Gambar 2. Artinya siswa-siswi kita fokus pada dunia matematika semata, tetapi tidak
utuh melengkapinya dengan pengalaman berinteraksi antar dunia nyata dan dunia matematika.
Masalah 1,2,3
Masalah
Nyata Matematika
5 4 Dunia
Dunia Nyata
Matematika
Solusi
Solusi Nyata 5
Matematika
Gambar 2 Proses Bermatematika atau Matematisasi (PISA)
2
4. Iwan Pranoto
M3. Jenjang bernalar merangkum (comprehension) dan menganalisis sangat kurang. Ini berarti
bahwa kecanggihan bernalar yang dituntut dunia lebih tinggi dari yang berjalan dalam praktik
pembelajaran matematika Indonesia. Sebaliknya, tuntutan dunia thd ketrampilan menyelesaikan
perhitungan ruwet sudah berkurang.
Dari hasil PISA 2000 sampai 2009 ini, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin siswa kita memiliki
kelemahan 3 butir di atas? Hasil buruk yang konsisten dari anak-anak Indonesia dalam peringkat negara-
negara yang ikut PISA 2000 sampai 2009 bukan sesuatu yang perlu ditangisi berkepanjangan. Yang
lebih utama, yang harus diselidiki adalah permasalahan atau kelemahan apa dalam program
pembelajaran matematika yang dimiliki siswa-siswi Indonesia. Dari diagnosa tentang kelemahan tiga hal
di atas, sebetulnya yang paling wajar adalah mempertanyakan satu hal paling mendasar: “Seberapa
relevan Pendidikan Matematika RI saat sekarang dengan kecakapan modern: berpikir pakar dan
berkomunikasi kompleks?”
Relevansi UN Matematika dengan Kecakapan Modern
Pada praktiknya, pendidikan matematika dari kelas 1 sampai 12 di Indonesia – suka atau tidak –
ditujukan untuk Ujian Nasional Matematika. Karena UN Matematika ini bersifat high-stake atau
Ujian Nasional
Matematika
Pembelajaran
Matematika di
Sekolah
Pemahaman
Gambar 3 UN Matematika sebagai Target Belajar
3
5. Iwan Pranoto
taruhannya besar – yakni kalau tak lulus, tak akan dapat melanjutkan studi – maka siswa akan belajar
dengan fokus untuk UN Matematika tersebut, bukan demi pemahaman. Karena konsekuensi jika
seseorang gagal UN Matematika sangat besar, yakni masa depannya dalam dunia akademik dilabel
suram, maka siswa akan mati-matian belajar agar lulus UN Matematika, dengan segala cara yang
mungkin. Sampai kapanpun, jika ada UN yang taruhannya besar, misalnya bukan untuk kelulusan tetapi
untuk masuk ke perguruan tinggi, maka siswa tidak akan belajar untuk memahami, tetapi strategi mereka
adalah fokus pada kemampuan atau ketrampilan mengerjakan soal-soal UN Matematika. Ini jelas tak
ideal, namun akan menjadi jauh lebih tidak ideal lagi jika siswa kita mengejar ketrampilan-ketrampilan
yang diujikan di UN Matematika yang ternyata tidak relevan
dengan kecakapan modern yang dituntut dunia masa kini dan
masa depan. Ini layaknya siswa-siswi diminta untuk memanjat
… seberapa relevan UN Matematika
pohon yang buahnya sebenarnya tidak dibutuhkan. Jadi, kalau
dengan kecakapan modern yang
demikian, pertanyaan mendasar dan paling wajar selanjutnya
memang sengaja diukur seperti oleh
adalah seberapa relevan UN Matematika dengan kecakapan
PISA.
modern yang memang sengaja diukur seperti oleh PISA. Untuk
itu, selanjutnya akan dilakukan komparasi antara soal-soal di
PISA (Literasi Matematika) dan UN Matematika. Akan dikaji dan dicari perbedaan antara dua asesmen
tersebut.
M1. Pemecahan Permasalahan Tak Rutin
Seperti sudah diungkapkan di atas, dalam PISA jelas-jelas dikatakan bahwa kecakapan yang diukur
adalah kecakapan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang tak rutin. Ini berarti bahwa
memang didesain asesmen PISA ini menyajikan masalah-masalah yang belum pernah dihadai siswa.
Malahan secara tegas, dikatakan dalam laporan PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World,
Executive Summary, (OECD, 2007, p.9), bahwa mereka tertarik terhadap kemampuan siswa
memanfaatkan apa yang dipelajari di kelas. Tepatnya,
…concerned with the capacity of students to extrapolate from what they have learned and to analyse
and reason as they pose, solve and interpret problems in a variety of situations.
Ini berarti bahwa dalam PISA, siswa memang diharapkan mampu memecahkan suatu masalah baru yang
belum pernah dihadapi sebelumnya, memanfaatkan apa yang dipelajari di kelas dengan
mengembangkannya. Ini yang diistilahkan secara tepat sebagai ekstrapolasi. Siswa harus mampu
mengekstrapolasi apa yang dipelajari secara formal di kelas untuk menghadapi masalah baru. Ini
tentunya sejalan dengan berpikir pakar yang memang dibutuhkan di abad sekarang. Nah, pada kecakapan
ini, justru UN Matematika fokus pada pemecahan permasalahan yang rutin atau malah minim sekali
mengujikan pemecahan permasalahan.
Berikut ini contoh permasalahan rutin yang dikutip dari Ujian Nasional Matematika SMP, Paket 54, No.
34.
Bu Mira mempunyai 1 kaleng penuh berisi beras. Kaleng berbentuk tabung dengan diameter 28 cm dan
tinggi 60 cm. Setiap hari bu Mira memasak nasi dengan mengambil 2 cangkir beras. Jika cangkir
berbentuk tabung dengan diameter 14 cm dan tinggi 8 cm, maka persediaan beras akan habis dalam
waktu …
A. 15 hari
4
6. Iwan Pranoto
B. 20 hari
C. 30 hari
D. 40 hari
nilai 𝜋𝜋 =
22
Untuk menyelesaikannya, kecuali membutuhkan ingatan tentang rumus volume tabung, siswa perlu ingat
7
. Ini sifatnya meskipun jenis problem solving atau pemecahan permasalahan, tetapi ini
permasalahan yang rutin. Siswa sudah tahu harus pakai apa. Kecakapan yang justru diuji dengan soal ini
𝜋𝜋 bukan
22
bukan kecakapan memecahkan masalah lagi, tetapi justru bergeser ke kecakapan berhitung yang tepat.
7
pendekatan. Padahal kalau pakai pendekatan nilai 𝜋𝜋 ≈ 3,14 jawabnya jadi tidak ada di pilihan tersebut.
Perlu dicatat pula soal di atas tidak sahih secara matematika, karena nilai itu hanya
Dapat dilihat juga bahwa masalah seperti ini sudah diajarkan gurunya di kelas. Akibatnya, kecakapan
siswa menghadapi masalah baru menjadi tidak diukur. Siswa hanya menuliskan kembali metode yang
diajarkan gurunya. Ini gagal menguji kemampuan siswa untuk mengkstrapolasi (melanjutkan dan
memperluas) pengetahuan/kecakapan yang diajarkan guru di kelas.
Ini sangat beda dengan jenis soal-soal di literasi matematika di PISA dan asesmen matematika di negara-
negara lain. Misalnya, berikut diberikan ilustrasi soal di PISA, dikutip dari dokumen Contoh Soal-soal
PISA, Puspendik, Balitbang, Kemendikbud, 2011, hal. 8-9.
5
7. Iwan Pranoto
Dapat diamati walaupun kedua soal di atas sama-sama pemecahan masalah, tetapi betapa berbedanya
kecakapan pemecahan permasalahan yang diujikan tersebut. Dua kecakapan yang sangat berbeda pula
yang akan dikejar oleh para pelajar. Yang pertama, rumit dalam perhitungan, tetapi jelas menggunakan
metode apa, sedang masalah di PISA itu lebih pada menghadapi masalah yang tak rutin dan bukan
permasalahan kecakapan ingatan atau ketepatan berhitung lagi.
M2. Proses Matematisasi Utuh
Metode matematika dalam upaya memecahkan permasalahan nyata dapat digambarkan dalam Gambar 2.
Siklus metode matematika merupakan siklus yang utuh tersebut. Pertama, dari masalah nyata dilakukan
tahap 1, yakni menata permasalahan nyata menurut konsep matematika. Di sini, siswa perlu mengenali
konsep matematika yang relevan. Kemudian, dalam tahap 2, siswa memangkas hal-hal yang tidak perlu
serta menyederhanakan dengan membuat asumsi-asumsi yang pantas. Kemudian, dalam tahap 3,
dibuatlah dalam bentuk model matematika, seperti persamaan, fungsi, dsb. Pada tahap ini, permasalahan
nyata itu telah diterjemahkan menjadi sebuah model matematika yang formal, yang memungkinkan
dicari solusi matematikanya. Kadangkala pola dimanfaatkan di sini untuk merumuskan model
matematika itu.
Pada tahap 4, model matematika itu dikenakan berbagai teknik dalam matematika guna menemukan
solusi matematikanya. Ini solusi formal matematika. Pengetahuan, ketrampilan berhitung, dan
pemahaman gagasan matematika perlu digunakan untuk menemukan solusi matematika ini.
Kemudian, pada tahap 5, solusi matematika yang formal tersebut perlu diterjemahkan ke konteks yang
sesuai dengan masalah nyata semula. Solusi matematika tersebut ditafsirkan menjadi solusi untuk
6
8. Iwan Pranoto
permasalahan nyata semula. Dan, kemudian solusi tersebut diperiksa apakah dapat masuk akal untuk
permasalahan nyata semula. Juga tidak lupa pada tahap 5 ini dilakukan pemeriksaan apakah solusinya
telah lengkap. Secara umum, dalam seluruh lima tahap itu dibutuhkan kecakapan bernalar, ketrampilan
manipulasi simbolik, kemampuan berkomunikasi, dan kecakapan memecahkan masalah.
Asesmen PISA ditujukan untuk mengukur kemampuan siswa dalam lima tahap di atas tersebut secara
utuh. Lalu bagaimana dengan soal-soal di Ujian Nasional Matematika? Pada umumnya, soal-soal
matematika di pembelajaran matematika serta Ujian Nasional Matematika menguji tahap 4 semata, yakni
mencari solusi soal-soal yang sudah berbentuk persamaan matematika. Kebanyakan persamaan sudah
diberikan. Artinya, siswa tidak dituntut untuk merumuskan persamaan atau model matematika lainnya.
Salah satu bentuk yang masih sering ditanyakan di Ujian Nasional Matematika adalah bentuk soal cerita.
Namun, ini pun biasanya sudah langsung tahap 3. Juga, perlu dicatat di sini, siswa Indonesia banyak yang
menghadapi kesulitan di dalam bentuk soal cerita yang menuntut siswa untuk memahami masalah dalam
bentuk paragraf tulisan kata-kata.
Sebagai ilustrasi soal-soal yang sudah diberikan rumusan fungsi atau persamaan seperti berikut ini
sangat banyak di Ujian Nasional Matematika. Ini dikutip dari Ujian Nasional Matematika SMP 2011, No.
16.
Suatu fungsi didefinisikan dengan rumus 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 3 − 5𝑥𝑥. Nilai 𝑓𝑓(−4) adalah...
Dapat dibandingkan perbedaannya dengan kecakapan mematematikakan situasi yang justru diujikan di
jenis soal-soal seperti di bawah ini.
Gambar 4 Soal MCAS Kelas 8, 2008, No. 26
M3. Kecakapan Bernalar Jenjang Tinggi
Pada masa sekarang, informasi dan teknologi sangat tersedia dan sangat murah. Akibatnya, bagaimana
hidup di masa sekarang sangat berbeda dibanding waktu 25 tahun lalu, misalnya. Kognitif rutin seperti
menghafal dan berhitung prosedural semakin tak dibutuhkan lagi. Pada grafik di Gambar 1, misalnya
dapat dilihat bahwa kecakapan jenis kognitif rutin cenderung semakin tidak dibutuhkan lagi di dunia
7
9. Iwan Pranoto
kerja. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa jenjang bernalar tingkat rendah, yakni menghafal,
merangkum, dan menerapkan (sederhana) masih dibutuhkan, namun jenjang tinggi semakin relevan
dengan kehidupan modern. Kecakapan bernalar tingkat rendah dan kecakapan bernalar tingkat tinggi
harus dilihat sebagai kecakapan yang saling menguatkan, bukan dibuat dikotomi lagi. Pendidikan Asia
tradisional yang cenderung diasosiasikan dengan kecakapan rutin dan teknis, saat sekarang telah
ditransformasikan menjadi pendidikan yang dilengkapi dengan kecakapan bernalar tingkat tinggi serta
bernalar kreatif. Sebaliknya pendidikan di Barat, terutama di AS, yang cenderung diasosiasikan dengan
pendidikan yang mendewakan jenjang bernalar tinggi, saat sekarang justru memposisikan kembali
pentingnya jenjang bernalar tingkat rendah untuk mendukung jenjang bernalar tingkat tinggi, serta
kecakapan pemecahan masalah. Secara ringkas, masa kini pendidikan matematika di dunia cenderung
konvergen menuju penyatuan tiga kecakapan yang saling menguatkan, yakni ketrampilan teknis
berhitung, pemahaman konsep, dan pemecahan masalah tak rutin. Ketiga hal itu saat sekarang sudah
dipandang sebagai suatu kecakapan yang tidak perlu dipertentangkan kembali. Hampir semua negara di
dunia cenderung melihat tiga-tiganya menyatu saat sekarang serta saling mendukung satu terhadap
lainnya.
Dalam konteks Indonesia saat ini, pendidikan matematika nasional kita cenderung fokus pada kecakapan
teknis berhitung serta penghafalan rumus, yang dikategorikan sebagai jenjang bernalar rendah. Ujian
Nasional Matematika juga sangat condong pada jenjang bernalar rendah tersebut. Misalnya amati soal di
Gambar 5 berikut, yang menunjukkan bahwa siswa mutlak harus hafal rumusnya untuk mengerjakan.
Memang dapat diturunkan rumusnya dari rumus luas cakram serta pemahaman sifat geometri kerucut,
namun itu membutuhkan waktu yang lebih dari 2 menit, yang jelas tak mungkin dalam UNAS
Matematika.
Gambar 5 Soal UNAS SMP 2011, No. 37
Ini sama sekali tidak mengatakan bahwa tingkat kesulitan soal-soal di Indonesia lebih rendah dibanding
negara lain. Tidak sama sekali, justru soal-soal di UN Matematika sangat rumit perhitungannya. Jauh
lebih rumit dibanding asesmen internasional. Namun, tuntutan bernalar di UN Matematika cenderung
rendah, sedang di asesmen internasional justru tinggi. Perbandingan ini dapat digambarkan pada
Gambar 6. Di dunia saat sekarang cenderung pembelajaran matematika serta evaluasinya pada bagian
kiri-bawah dan kiri-atas. Sedangkan dalam praktik pendidikan matematika nasional serta Ujian Nasional
Matematika yang ada sekarang, justru dipenuhi dengan jenis masalah yang ada di kanan-bawah. Ini jenis-
jenis masalah yang sangat mudah disiasati dengan rumus-rumus “cepat” yang diajarkan di berbagai
bimbingan tes komersial.
8
10. Iwan Pranoto
Bernalar Bernalar
Canggih – Canggih –
Perhitungan Perhitungan
Sederhana Ruwet
Bernalar Bernalar
Rendah – Rendah –
Perhitungan Perhitungan
Sederhana Ruwet
Gambar 6 Empat kuadran tipe masalah matematika
Ini sekali lagi menekankan bahwa tingkat kesulitan Ujian Nasional Matematika tidak lebih rendah, juga
tidak lebih tinggi, daripada asesmen pembanding di negara lain. Ujian Nasional Matematika serta praktik
pendidikan matematika nasional di RI ini berbeda dengan negara lain. Orientasi pendidikan matematika
di RI saat sekarang melenceng dibanding di negara-negara lain. Siswa-siswi di Republik akibatnya tidak
mempelajari kecakapan bernalar tingkat tinggi yang dipelajari seperti teman-temannya di negara lain.
Ilustrasi berikut menunjukkan bahwa tuntutan penghafalan rumus yang semakin menurun serta
sebaliknya peningkatan tuntutan kecakapan bernalar tingkat tinggi (jenjang menganalisis). Soal ini dari
Massachusetts Comprehensive Assessment System (MCAS) untuk kelas 8, atau SMP kelas 2, tahun 2008.
9
11. Iwan Pranoto
Gambar 7 Soal MCAS Kelas 8, 2008
Jadi, sangat wajarlah bahwa hasil siswa-siswi RI dalam PISA atau TIMSS menjadi rendah. Menjadi lebih
aneh lagi jika tingkat kesulitan soal-soal Ujian Nasional matematika akan lebih dipersulit dalam artian
kompleksitas/keruwetan perhitungan. Ini akan membuat siswa-siswi kita semakin melenceng dari arah
kecakapan dunia modern. Keadaan pendidikan matematika di Republik ini saat sekarang dapat dikatakan
sudah berada pada jalur yang berbeda dengan negara-negara lain, bukan lebih rendah.
Kesimpulan
1. Karena Ujian Nasional Matematika fokus pada pengujian kecakapan bernalar tingkat rendah
serta kecakapan yang sudah kedaluarsa, akibatnya – mau tak mau – para pemuda/i Indonesia
dalam proses pembelajaran matematikanya kehilangan kesempatan belajar bernalar jenjang
tinggi serta mempelajari kecakapan masa modern ini. Sebenarnya, kuat dugaan hal yang sama
terjadi pada bidang studi lainnya, seperti bahasa, misalnya.
2. Keberadaan sistem Ujian Nasional Matematika seperti sekarang yang menempatkan fungsinya
sebagai sebuah exit exam (ujian kelulusan) atau ditambah wacana UN sebagai ujian saringan
10
12. Iwan Pranoto
masuk perguruan tinggi dan ditambah kualitas soal yang
buruk – seperti diulas di atas – sangat menyulitkan
perbaikan mutu pendidikan matematika nasional. … education becomes the key to
Secara langsung dan tak langsung artinya Negara economic survival in the 21st
menyokong pengabaian pengembangan kecakapan century.
modern yang dibutuhkan di Abad 21 bagi putra-putri
bangsanya. Trilling dan Fadel (2009 ,hal. 6)
3. Jika keadaan seperti sekarang ini – yakni sistem Ujian
Nasional Matematika serta jenis soalnya yang kurang
memperhatikan kecakapan modern seperti sekarang – diteruskan, maka bukan sesuatu yang
berlebihan jika dikatakan bahwa program pendidikan matematika nasional di Republik ini
menyiapkan pemuda-pemudinya untuk menjadi kuli kasar di masa depan. Akan sangat sulit bagi
para pemuda pemudi Indonesia di masa depan dalam berfungsi secara efektif di percaturan
dunia global. Dampak selanjutnya adalah perekonomian Republik Indonesia yang rapuh dan tak
akan mampu bertahan di percaturan dunia masa depan. Sebaliknya, dengan membenahi
pendidikan, matematika khususnya, akan berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian
Bangsa ini di masa sekarang dan masa depan.
Daftar Pustaka
Massachusetts DOE (2011). Massachusetts Comprehensive Assessment System, Math Test, Grade 8,
http://www.doe.mass.edu/mcas/testitems.html?yr=08
OECD (2007). PISA 2006: Science Competencies for Tomorrow’s World, Executive Summary.
Puspendik (2011). Contoh Soal-Soal PISA, Balitbang, Kemendikbud.
Trilling, B. dan Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, John-Wiley & Sons,
San Francisco.
11