Dokumen tersebut membahas produksi dan sirkulasi cairan serebrospinal (likuor) dalam sistem ventrikel otak dan ruang subaraknoid. Likuor diproduksi terutama oleh pleksus korioidea di ventrikel lateral dan mengalir melalui ventrikel dan ruang subaraknoid, melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Pemeriksaan likuor (lumbal punksi) berguna untuk diagnosis penyakit sistem saraf pusat.
2. DEFINISI
Pungsi lumbal adalah suatu tindakan dalam klinik
untuk memperoleh likuor serebrospinalis dri ruang
subaraknoid medula spinalis. Likuor serebrospinalis atau
cairan lumbal adalah cairan jernih, tak berwarna yang
mengisi ruang – ruang ventrike, sisterna – sisterna,
ruang subaraknoid otak dan medula spinalis.
Otak dan medula spinalis merupakan jaringan yang
mudah rusak, terletak dalam suatu rongga bertulang dan
seolah – olah berenang di dalam ruang beriskan likuor.
Dengan demikian fungsi utama likuor adalah mekanis,
yaitu melindungi otak dan medula spinalis.
3.
4. Ventrikel
Ventrikel lateralis (1, 2) di hemisfer cerebri
Ventrikel ketiga (3) diantara hemisfer
Ventrikel keempat (4) di midbrain dan medulla
02 Nov. 2009 CNS1.ppt 4
5. Cerebrospinal fluid (CSF)
Difiltrasi dari plasma
darah di plexus
choroid
Sirkulasi pada
ventrikel, rongga sub
arachnoid
Kembali ke
pembuluh darah
melalui sinus sagitalis
superior
02 Nov. 2009 CNS1.ppt 5
8. FUNGSI
Mekanik : membantu menahan berat otak & buffer
antara otak – dura - cranium
Pembersih : beberapa molekul seperti iodida,
tiosianat, asam-asam organik ->vili arahnoid -> darah
Stabilitas lingkungan kimiawi : perubahan komposisi
kimiawi relatif sedikit < darah
Transport neuroendokrin : hypothalamic release factor
-> Vent.III ->sel ependim -> mll kapiler ke hipofise.
10. Elektroforesis protein LCS
Prealbumin 4,6%
Albumin 39,5%
Alfa1 globulin 6,7%
Alfa2 globulin 8,3%
Beta dan lamda globulin 18,5%
Gama globulin 8,2%
11. Tes protein kualitatif
Tes Pandy : menggunakan larutan fenol untuk
melihat kadar protein terutama globulin
Tes Ross-Jones dan Nonne-Apelt: menggunakan
larutan amonium sulfat untuk melihat kadar
protein terutama globulin dengan adanya batasan
berbentuk cincin.
Reaksi emas koloidal : untuk melihat kadar
gamma globulin.
13. TUJUAN
Mengukur tekanan manometer
Mengukur kadar protein, glukosa
Memeriksa sel-sel
Meyakinkan ada/tidak darah
Memeriksa mikroorganisme
Memeriksa ada/tidak infeksi
Memeriksa ada/tidak sel ganas
14. Dinilai :
Warna
Jumlah sel
Biokimia CSF (Na, K,Cl, Glukosa, IgG, dll)
Reaksi aglutinasi (VDRL,FTA,TPI)
Keseimbangan asam basa (PCO2, HCO3)
15. Indikasi
Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel
untuk pemeriksaan sel, kimia dan bakteriologi
Untuk membantu pengobatan melalui spinal,
pemberian antibiotika, anti tumor dan spinal anestesi
Untuk membantu diagnosa dengan penyuntikan udara
pada pneumoencephalografi dan zat kontras pada
myelografi
16. Kontraindikasi
Adanya peninggian tekanan intrakranial dengan
tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil edema
Penyakit kardiopulmonal yang berat
Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi
17. TEKNIK LUMBAL PUNKSI
Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi
lateral dengan leher, punggung, pinggul dan tumit lemas.
Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala dan lutut.
Tempat melakukan punksi pada kolumna vertebralis setinggi
L3-4, yaitu setinggi crista iliaca. Pada bayi dan anak setinggi
intervertebralis L4-5.
Daerah yang akan di punksi dibersihkan dengan yodium dan
alkohol
18. Diberikan anestesi lokal Lidocain HCl
Menggunakan sarung tangan steril, masukkan jarum
tegak lurus menghadap ke atas. Bila telah dirasakan
menembus jaringan meningen, penusukan dihentikan,
kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang
miring menghadap ke kepala.
Lakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan
Test Queckenstedt bila diperlukan
19.
20. Komplikasi
Sakit kepala
Nyeri punggung
Infeksi
Herniasi
Intrakranial subdural hematom
Tumor epidermoid intraspinal
24. Insiden Papil edema :
75 % ok Tumor otak
25 % ok sebab lain --> 2,5 % ok
Meningitis
( Meningitis TB 25 % - Papil
edema )
Pemeriksaan : oftalmoskop
Tanda fundus – hiperemi, distensi vena,
diskus marginalis kabur, garis paton,
penggeseran pembuluh darah, ada darah /
eksudat, edema diskus
25. Papil edema :
Elevasi abnormal dari ujung / bagian
depan saraf dan obliterasi diskus
marginalis tanpa tanda nyata adanya
proses inflamasi
-Edema diskus optikus ( non inflamatorik
atau inflamatorik )
-Diskus optikus : lubang masuknya N II
menembus sklera
-Papila optika / papila N. optikus :
jaringan saraf didepan diskus optikus
yang merupakan gabungan serabut saraf
retina yang ditopang oleh neuroglia
sebelum keluar dari sklera menjadi N.
optikus.
26. Mekanisme TIK meningkat – >Papil edema :
TIK naik – > tekan keluar (R. intra okuler & med. Oblongata)
Ruang sekitar N II mrpkn lanjutan R. subarakhnoid
Stadium papil edema : 5 stadium
Berdasar - batas papil kabur / tidak
- bagian mana yang mengalami pengkaburan
- terganggu/tdk susunan radial normal berkas saraf
- ada / tidaknya elevasi
- gambaran pembuluh darah
Papil edema terjadi pada TIK > 300 mm air
29. Lumbar Puncture
If acute bacterial
meningitis is suspected,
obtain CSF & blood
cultures before
neuroimaging
If diagnosis is
uncertain, a repeat
spinal tap should be
repeated in 8-12 hours
12-39% of patients
undergoing LP develop
headache
http://health.allrefer.com/pictures-images/lumbar-puncture-spinal-ta
30.
31. Produksi dan Penyaluran Likuor Serebrospinalis
Likuor terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari 2
bagian yang berhubungan satu sama lain :
1. Sistem internal terdiri dari 2 vertikel lateralis,
foramen – foramen interventrikularis (Monro),
vertrikel ke-3 akuaduktus Sylvii dan vetrikel ke-4.
2. Sistem eksternal terdiri dari ruang – ruang
subaraknoid, termasuk bagian – bagian yang melebar
disebut sisterna.
Hubungan antara sistem internal dan eksternal ialah
melalui kedua apertura lateralis ventrikel ke-4
(foramen Luschka) dan foramen medialis ventrikel
ke-4 (foramen Magendii) (lihat gambar 1a dan 1b)
32. Likuor serebrospinalis dibuat oleh pleksus
koroideus melalui dialisis dinding korioidea di vertikel
lateralis (± 95%), sisanya di vertikel ke-3 dan ke-4, juga
melalui difusi pembuluh – pembuluh ependim dan
piameter. Apakah pembentukan likuor serebrospinalis di
pleksus koroid secara sekresi atau dialisis sampai
sekarang belum ada persesuaian paham.
Yang dibuat di ventrikel lateralis disalurkan
melalui foremen interventrikularis (foramen Monro) ke
dalam ventrikel ke-3, kemudian melalui akuaduktus Sylvii
ke dalam ventrikel ke-4 (foramen Magendie) dan kedua
apertura lateralis dari ventrikel ke-4 (foramen Luschka)
yang terletak di sudut antara lantai ventrikel ke-4 dan
serebelum ke ruang – ruang subaraknoid serebral dan
spinal.
33. Ruang subaraknoid terletak antara membran
araknoid bagian luar dan piameter bagian dalam, berjalan
ke atas dan membran meliputi seluruh permukaan otak
dan medula spinalis. Bagian subaraknoid di dasar otak
antara bagian permuakaan bagian permukaan bawah
serebelum dan medula spinalis lebih longgar dan dalam,
disebut sisterna magna. Sisterna pontis terdapat pada
permukaan ventral pons. Kedua sisterna ini berlanjut ke
ruang subaraknoid spinal. Sisterna interpedunkularis
terdapat di permukaan ventral mesensefalon. Di depan
lamina terminalis terdapat sisterna khiasmatis. Sisterna
vena magna serebri terletak di sudut antara serebelum
dan lamina kuadriqemina yang berhubungan denagn
sisterna interpedunkularis melalui sisterna ambiens.
34. Ruang subaraknoid spinal merupakan
lanjutan sisterna magna dan pontis dan meluas
sampai sakral-2. Yang terletak di bawah L-2
disebut sakus, tempat biasanya dilakukan pungsi
lumbal untuk memperoleh likuor.
35.
36. Fisiologi Likuor Serebrospinalis
Pada orang dewasa normal jumlah likuor
serebrospinalis 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140
ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur
kecil 10-20 ml.
Kecepatan pembuatan likuor ± 500 ml sehari
walaupun tekanan berubah – ubah. Dengan pemeriksaan
mikroskop elektron terlihat bahwa sel – sel pleksus
korioideus mempunyai mikroskop elektron terlihat bahwa
sel – sel pleksus korioideus mempunyai fungsi sekretoris.
Pembuatan likuor serta komposisinya bergantung pada
proses sekresi aktif sel –sel korioid.
37. Pertukaran ion –ion natrium, kalium dll melalui transport
aktif (proses sekresi) dimungkinkan oleh enzim – enzim
Na-K-adenosintrifosfatase dan karbonikanhidrase,
sedangkan masuknya protein dari serum dan pertukaran
karbondioksida bergantung pada difusi. Likuor
serebrospinalis dan cairan ekstraseluler otak berada
dalam keadaan seimbang. Juga ternyata bahwa kedua
cairan ini mempunyai komposisi kurang lebih sama
(Tabel 1).
Komposisi likuor umumnya tidak berubah walaupun
terjadi perubahan – perubahan pada plasma. Sebagai
contoh, pada hiperkalemia atau hipokalemia, kadar
kalsium dalam likuor tetap normal atau hanya sedikit
sekali berubah.
38. Sesudah ventrikel ke-4, likuor meliwati foramen
Magendie dan Luschka, masuk ke dalam sisterna basalis
dan ruang subaraknoid, kemudian mengalir ke atas
melalui permukaan hemisfer otak, sedangkan hanya
sedikit melalui ruang subaraknoid spinal. Di dalam ruang
subaraknoid likuor diabsorpsi di vili araknoid yang
menonjol ke dalam sinus longitudinalis superior dan sinus
venosus lain, juga di ruang perineurai da ependim. Jumlah
likuor yang diabsorpsi sama dengan yang diproduksi yakni
± 0,35 ml/menit. Mekanisme absorpsi bergantung pada
perbedaan tekanan antara sistem vena intrakranial dan
tekanan likuor (di bawah 68 mm tak terjadi absorpsi).
Absorpsi juga terjadi di bagian araknoid spinal da
pembuluh – pembuluh darah serebral dan spinal.
39. Menurut penelitian likuor serebrospinalis setiap
hari diperbaharui sebanyak 51/2 kali.
Dalam keadaan normal tekanan likuor
berkisar antar 50-200 mm, praktis sama dengan
50-200 mm H2o bila diukur pada penderita dalam
posisi tidur miring, dengan jarum fungsi dan
sisterna magna berada dalam satu bidang.
Tekanan likuor tidak diukur pada waktu
penderita duduk atau perubahan posisi dari
horisontal ke vertikal, karena pada keadaan –
keadaan ini tekanan likuor dapat naik sampai 280
mm.
40.
41. Secara umum terjadi perubahan – perubahan kecil
dalam tekanan likuor yang sinkron dengan pernapasan
dan nadi yaitu berturut – turut 5-10 mm dan 2-4 mm
diukur dengn manometer aor. Tekanan likuor meningkat
pada peningkatan suhu badan dan pada peningkatan
tekanan intrakranial, misalnya pada proses desak ruang,
tekanan massa dll. Ruang tengkorak bersama dura yang
tidak elastis merupakan suatu kotak tertutup yang
berisikan jaringan otak dan mesdula spinalis sehingga
volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume
darah dan likuor merupakan angka tetap (Hukum
MonroeKellie). Oleh karena itu setiap perubahan volume
salah satu unsur tadi akan menyebabkan perubahan
kompensatorik pada unsur – unsur lain.
42. Jadi, bila volume salah satu bagian meningkat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Keadaan ini terdapat pada perubahan volume likuor,
pelebaran dura, perubahan volume pembuluh darah
terutatama volume vena, perubahan jaringan otak
(bagian putih otak berkurang pada hidrosefalus
obstruktif). Pada umumnya volume otak serta tekanan
likuor berubah oleh berbagai pengaruh, sehingga volume
darah selalu akan menyesuaikan diri.
Peningkatan produksi likuor tidak menyebabkan
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis. Bilamana
absorpsi likuor terhalang, tekanan intrakranial akan
meningakat, walaupun tidak terdapat sumbatan dalam
sistem ventrikel.
43. Keadaan ini dapat menerangkan kenapa tekanan
intrakranial meningkat pada peningkatan kadar
protein dalam likuor seperti pada sindrom
Guillain Barre, tumor kauda ekuina, tumor
medula spinalis, poliomielitis dan sesudah
perdarahan subaraknoid. Peningkatan tekanan
intrakranial disini tak dapat diterangkan hanya
oleh peningkatan tekanan koloidosmotis akibat
peningkatan protein, tetapi karena terjadi
hambatan reabsorbsi likuor pada vili araknoid
atau pada ruang subaraknoid.
44. Fungsi Likuor Serebrospinalis
1. Fungsi utama likuor ialah mekanisme, yaitu mlindungi
otak terhadap kerusakan – kerusakan, guncangan –
guncangan dll, dengan berfungsi sebagai penahan
guncangan untuk otak dan medula spinalis.
2. Membantu memikul berat otak. Berat otak ± 1400
gram yang terdiri dari 80% air, beratnya hanya 50
gram bila ditimbang dalam air (likuor).
3. Sebagai bufer antara otak, durameter dan tengkorak.
4. Mempertahankan agar hubungan antara tekanan dan
volume di ruang tengkorak tetap konstan.
5. Mempertahankan komposisi kimiawi lingkungan
susunan saraf pusat.
6. Membersihkan otak dari sisa – sisa metabolisme
benda asing dan zat toksik.
45. Pungsi Lumbal
Indikasi
1. Untuk menentukan diagnosis beberapa penyakit dan
kelainan neurologis, a.l. radang selaput otak, radang
otak.
2. Untuk mengetahui adanya blok subaraknoid.
3. Pada stroke, untuk membedakan apakah stroke
hemoragik, perdarahan subaraknoid, atau trombotik.
4. Pada lesi desak ruang (Space Occupying Lesion) yang
tidak terletak di fosa posterior, dengan kelainan
protein dan sel.
5. Pada kemungkinan sindrom Guillain Barre untuk
menentukan apakah terdapat disosiasi sito-albumin.
46. 6. Pada paraplegia untuk menentukan apakah terdapat
kompresi medula spinalis (Sindrom Froin)
7. Pada pneumoensefalografi, dengan menyuntikkan
udara ke dalam ruang subbaraknoid, menyuntikkan
bahan – bahan radio-opaque, zat radioaktif untuk
pemeriksaan – pemeriksaan lain.
8. Menyuntikkan zat kontras yang larut dalam air pada
mielografi.
9. Untuk mengurangi nyeri kepala, terutama nyeri kepala
rengsa (intractable headache) yang tidak dapat
dihilangkan dengan analgesik atau dengan cara lain.
10. Untuk pengobatan, yaitu injeksi intratekal misalnya
pemberian methotrexate pada leukimia meningeal dll.
47. Kontra Indikasi
1. Bila terdapat infeksi di tempat akan dilakukan pungsi
lumbal, karena dapat menyebabakan meninggitis dll,
yaitu :
- osteomielitis di daerah lumbosakra
- abses epidural di tempat pungsi
- malformasi arteriovenosa lumbosakral
Pada keadaan – keadaan demikian sebaiknya pungsi
lumbal dilakukan didaerah yang lebih ke atas.
2. Bila tekanan intrakranial meningkat. Dalam hal ini
belum ada persesuaian paham, karena ada yang
berpendapat bahwa risiko sangat minim. Menurut
Korein dkk komplikasi pugsi lumbal pada tekanan
intrakranial yang tinggi kurang dari 1,2%. Mereka juga
beranggapan bahwa edema papil bukan suatu kontra
indikasi pada pungsi lumbal.
48. Dianjurkan bahwa bila sangat diperlukan tindakan
pungsi lumbal pada peningkatan tekanan intrakranial,
jangan ragu – ragu. Agar risikonya kecil, sebaiknya
digunakan jarum pungsi yang kecil (no.22) untuk
menghindari lubang yang besar pada dura. Juga ambil
likuor seperlunay saja.
3. Bila tumor jelas terdapat di fosa posterior
4. Bila terdapattanda – tanda bahwa akan terjadi
hernaisi tentorial atau tonsil. Akibat herniasi ke
foramen magnum dapat mengakibatkan kegagalan
pernapasan dan penderita akan meninggal. Gejala –
gejala herniasi adalah muntah – muntah, bradikardi,
perlambatan pernapasan, kesukaran menelan dan
bising sistolik di daerah oksipital akibat kompresi a.
vertebralis.
49. 5. Bila penderita dalam keadaan gawat ditambah
dengan kesadaran yang makin menurun.
6. Bila penderita atau keluarga menolak tindakan
pungsi lumbal.
50. Komplikasi
1. Nyeri kepala sesudah pungsi lumbal. Untuk
mengurangi atau mencegah hal ini sebaiknya
digunakan jarum halus (no.22). Nyeri kepala pasca
pungsi lumbal umumnya hilang bila penderita tidur
rata setelah pungsi lumbal. Dapat juga diberikan NaCl
0,9% atau glukosa i.v. di dalam ruang subaraknoid
(kanalis sentralis)
2. Kerusakan diskus intervertebralis oleh jarum pungsi
3. Infeksi
4. Iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila
digunakan jarum yang tidak kering
5. Jarum patah
51. 6. Pendarahan di dalam ruang subaraknoid dengan
gejala – gejala yang sama dengan perdarahan
subaraknoidal dialami penderita selama beberapa
hari.
7. Pada tumor medula spinalis gejal – gejala
neurologik bertambah hebat setelah pungsi
lumbal.
8. Likuor keluar terus pada tempat pungsi lumbal.
9. Herniasi ke foramen magnum pada penderita
dengan tekanan intrakranial yang tinggi,
terutama bila terdapat tumor pada fosa
posterior.
52. Persiapan Pungsi Lumbal
Sebelum melakukan pungsi lumbal, sebaiknya
dijelaskan kepada penderita tatau keluarga mengapa
dilakukan pungsi lumbal. Jelaskan kepada
penderitabahwa pungsi lumbal diperliakn untuk
menentukan diagnosis atau untuk memasukkan obat,
pungsi lumbal adalah amn da hanya merasakan nyeri
sedikit sekali dll.
Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan dalam ruangan
khusus, atau kamar terapi, atau kamar periksa khusus.
Dokter atau operator dibantu oleh perawat – perawat
yang sudah berpengalaman. Alat dan keperluan
hendaknya dipersiapkan terlebih dahulu (Tabel 2).
53.
54. Teknik Pungsi Lumbal
Bila dokter yang akan melakukan pungsi lumbal
mempergunakan tangan kanan (right handed), penderita
ditidurkan pada sisi kiri. Dengan tinktur yodium dibuat
garis yang menghubungkan bagian teratas krista iliaka
atau krista iliaka anterior superior kiri dan kanan yang
akan bersilang dengan garis yang menghubungkan
prosesus – prosesus dari atas ke bawah. Persilangan
kedua garis ini terdapat pada prosesus spinosus dari L4.
Tempat pungsi dipalpasi dengan jari telunjuk yaitu
diantara L4 dan L5 atau L3 dan L4 dan diberi tanda. Daerah
tempat akan dilakukan pungsi dan sekitarnya dibersihkan
dengan sabun, dibilas, kemudian didesinfeksi dengan
tinktur yodium dam setelah itu dengan alkohol 70%.
55. Tempat pungsi ditutup dengan kain steril berlobang.
Kepada penderita ditanyakan apakah pernah mengalami
reaksi alergi karena obat – obatan atau suntikan –
suntikan.
Pemberian anestesi lokal dengan jarum halus.
Disuntikkan larutan prokain-hidroklorida 1-2% pada
tempat pungsi dan sekelilingnay, sebaiknya suntikan ini
sedikit agak dalam. Oleh perawat yang sudah mahir
dengan prosedur pungsi lumbal, penderita yang masih
tetap berbaring pada sisi kiri, posisinya diubah
sedemikian rupa sehingga tungkai difleksi agar kedua
lulut sedekat mungkin dengan dagu (kneechest pisition)
sedangkan kuduk (leher) difleksi ke depan ke arah dada.
Posisi sedemikian menyebabkan ruang interspinosum
menjadi lebih lebar sehingga memudahkan pungsi lumbal
(Gambar 3).
56.
57. Operator dengan sarung tangan karet yang steril
yang menusuk ± 1 cm di atas atau di bawah titk silang
yang telah ditentukan sebelumnya ke arah kranial (sefal)
(Gambar 4). Mula – mulajarum melewati kulit dengan
mudah, kemudian ligementum interspinosum, lalu
mendapat tahanan ligamentum flavum. Disini tusukan agak
dikeraskan sehingga dapat menembus ligamentum flavum.
Usahakan agar arah jarum kembali tegak lurus, kemudian
melalui dura, lalu masuk ke dalam ruang subaraknoid.
Biasanya panjang jarum yang masuk adalah ± 7 cm.
Selanjutnya stilet dicabut dan likuor akan menetes keluar
dengan spontan. Setelah melewati dura jangan menusuk
terlalu dalam, karena dapat menusuk diskus
intervertebralis.
58.
59. Bila likuor tidak keluar, jarum diputar – putar
sambil menarik sedikit keluar. Cara ini dilakukan untuk
menghindari jaringan yang menutup ujung jarum. Bila
setelah beberapa kali jarum diputar – puatar, tetapi
likuor tetep belum keluar, perbaiki posisi penderita
kembali seperti semula. Kadang – kadang likuor tidak
keluar karena ujung jarum tersumbat bekuan darah.
Dalam hal ini jarum dikeluarkan, dibersihkan atau
diganti dengan yang lain.
Bila setlah beberapa kali jarum diputar dan posisi
penderita telah diperbaiki, tetapi likuor masih belum
keluar, jarum dicabut dan dicoba melakukan pungsi di
tempat lain, misalnya L3-L4. Sebaiknya jangan melakukan
pungsi lumbal di atas L2-L3, karena ujung kaudal medula
spinalis dapat mencapai setinggi L1-L2.
60. Pada anak, pungsi lumbal dilakukan pada L4-L5 atau L5-L1,
karena ujung medula spinalis dapat mencapai sampai
L3-L4.
Bila likuor telah keluar secara spontan, jarum
segera disambung dengan manometer kaca dan membaca
tekanan likuor (tekanan permulaan, initial pressure).
Waktu mengukur tekanan ini penderita harus dalam
keadaan tenang, sendi lutut diluruskan, kepala tidak
dalam posisi fleksi Lagi. Penderita dilarang batuk atau
mengedan, karena dapat menyebabkan tekanan dalam
vena – vena abdominalis meningkat, sehingga tekanan
vena – vena vertebralis naik. Dalam keadaan normal
tekanan permulaan likuor tidak melebihi 180 mm. Bila
tekanan intrakranial meningkat sampai 300 mm, jarum
pungsi harus segera dicabut.
61. Pada semua penderita yang akan menjalani pungsi
lumbal sebelumnya dilakukan funduskopi untuk
menentukan apakah terdapat peningkatan tekanan
intrakranial, terutama pada anak dengan fontanel dan
sutura yang telah menutup. Pada anak yang lebih kecil
tekanan intrakranial dapat ditentukan dari tekanan
fontanel masih terbuka, pungsi lumbal dapat dilakukan
dngan aman, walaupun terdapat tekanan intrakranial
meningkat.
Pemeriksaan fundus okuli yang normal belum
berarti bahwa tekanan intrakranial normal. Dalam hal ini
perlu dilakukan pemeriksaan lebih teliti, apakah terdapat
bunyi tempayan retak (cracked pot sound) dan
bagaimana hasil pemeriksaan foto Röntgen tengkorak.
Pada keadaan tertentu pungsi lumbal dapat dilakukan
walaupun tekanan intrakranial tetap tinggi, dalam hal ini
sebaiknya bekerja sama dengan ahli bedah saraf
62. Bila tekanan likuor dalam manometer tidak
meningkat, tetapi menurun degan respirasi, kemungkinan
besar ada sesuatu yang menutup ujung jarum pungsi
misalnya jaringan subaraknoid atau lain – lian. Hal ini
dapat dipastikan dengan menekan abdomen penderita
yang menyebabkan tekanan likuor naik.
Pungsi daoat menimbulkan perasaan nyeri secar
tiba – tiba seperti ditusuk – tusuk pada tungkai, ini
berarti jarum pungsi telah menusuk saraf sensoris, hal ini
mungkin terjadi karena ujung jarum terlalu banyak ke
arah lateral.
Bekas tusukan pungsi lumbal akhirnya ditekan
dengan kasa steril, kemudian diberi tinktur yodium,
ditutup dengan kasa steril dan plester. Penderita disuruh
istirahat dan harus diperhatikan apakah likuor tidak
keluar lagi melalui tempat pungsi.
63. Pemeriksaan Likuor
Pemeriksaan Mikroskopis
Likuor normal adalah jernih, tidak berwarna
seperti air. Untuk pemeriksaan dalam klinik diperlukan ±
10-20 ml, umumnya 7-10 ml sudah cukup dengan rincian
sebagai berikut :
Hitung sel 0,5 ml
Protein total 1,5 ml
Protein elektroforesis 5 ml
Reaksi Wasserman 2 ml
Reaksi emas kolidal (Colloidal Gold Reaction) 0,5 ml
Pemeriksaan usap dan kultur untuk kuman
TB (usap dan kultur basil TB) 3-5 ml
Pemeriksaan usap untuk organisme lain 2 ml
Inokulat marmut 3-5 ml
Penentuan sel – sel maligna 2 ml
64. Likuor Xantrokrom
Likuor berwarna kuning disebabkan antara lain oleh :
1. Zat warna darah, misalnya oleh perdarahan 5-6 jam
sebelum pungsi lumbal.
2. Pigmen darah antara lain bilirubin, oksihemoglobin,
methemoglobin.
3. Perdarahan subaraknoid
4. Perdarahan intrakranial yang masuk ke dalam
ventrikel
5. Kadar protein tinggi (lebih dar pada 150 mg/100 ml),
misalnya bila likuor diambil di bawah sumbatan
(sindrom Froin) oleh tumor intraspinal, umumnya
neurofibroma.
65. 6. Hematoma subdural
7. Ikterus yang hebat misalnya pada koma hepatikum.
8. Nanah dalam likuor.
9. Tumor intrakranial.
10. Infrak serebri.
11. Beberapa bentuk polineuritis.
12. Meningitis.
66. Likuor Keruh
Likuor yang keruh terdapat bila :
1. Likuor mengandung banyak sel – sel polimorfonuklear,
misalnya pada meningitis tuberkulosa akut (lebih dari
pada 400/ml). Kekeruhan bisa sedemikian rupa
sehingga di dasar tabung terdapat nanah dan lapisan
atas berwarna kuning.
2. Likuor mengandung banyak eritrosit.
3. Tabung kotor.
67. Likuor Berdarah
Keadaan ini dilihat pada beberapa keadaan :
1. Kesalahan teknik pungsi lumbal (vena robek)
2. Perdarahan yang terjadi 5-6 jam sebelum pungsi
lumbal
3. Perdarahan subaraknoid
4. Hematomeli
68. Percobaan 3 tabung
Percobaan 3 tabung adalah untuk membedakan
likuor murni dari likuor yang berdarah. Percobaan ini
adalah sebagai berikut :
1. Tampung likuor secara berturut – turut dalam 3
tabung. Bila warna merah sama pada ketiga tabung,
maka berarti perdarahan terjadi dalam kanalis
spinalis. Kalau warna tabung pertama lebih merah
dari pada yang berikutnya berarti perdarahan
adalah artefisial akibat tusukan pungsi.
2. Tampunglah cairan dalam tabung dan putar dengan
sentrifuge. Bila terjadi pemisahan cairan dan sel
darah yang jelas terlihat, maka darah adalah
artefisial.
69. Sedangkan bila terjadi kabut hemolisis dalam cairan
di atas lapisan sel darah, berarti perdarahan sudah
lama.
3. Pada pungsi lumbal traumatis (akibat tusukan), jumlah
sel dihitung, kemudian sel darah merah dilisiskan
dengan asam asetat dan jumlah sel dihitung kembali.
Bila jumlah total sel darah putih dibandingkan dengan
jumlah sel darah merah di dalam cairan
serebrospinalis lebih banyak daripada perbandingan
hal tersebut di dalam darah, maka dianggap bahwa
dalam likuor terdapat pleiositosis.
Bila perdarahan akibat tusukan hebat, pungsi
lumbal harus diulangi 2 hari kemudian.
70. Likuor Dengan Pengendapan Fibrin
(Fibrin Clof)
Keadaan ini disebabkan antara lain :
1. Fibrinogen dan fermen fibrin, misalnya bila kadar
protein likuor meningkat.
2. Likuor mengandung banyak albumin seperti pada blok
subaraknoid.
3. Pada beberapa bentuk polineuritis.
4. Pada meningitis tuberkulosa bisa terbentuk endapan
seperti laba – laba (cob web) disebabkan oleh kadar
protein yang tinggi.
71. Pemeriksaan Sitologik
Dalam keadaan normal likuor tidak banyak
mengandung sel (limfosit, sel mononuklear), biasanya
0-3/mm3 berarti pasti ada infeksi dan bila lebih dari
10/mm3 patognomonis terdapat infeksi atau kelainan
serebral dan infeksi selaput otak.
Jumlah eritrosit lebih dari 150.000/mm3 terdapat pada :
• aneurisma pecah
• Perdarahan intrakranial karena stroke dan hipertensi
maligna
• trauma kapitis
• pecahnya malformasi arterio-venosa
72. Pada keadaan patologik terdapat banyak limfosit,
sel – sel mononuklear besar, sel – sel polimorfonuklear,
juga mikroorganisme, sel – sel parasit dan kadang –
kadang sel – sel tumor. Umumnya sel – sel tersebut
berasal dari selaput otak, jaringan saraf yang masuk ke
dalam ruang subaraknoid dan ruang – ruang perivaskular.
Bila jumlah sel banyak disebut pleiositosis yang
menunjukkan infeksi selaput otak. Apakah sel – sel
polimorfonuklear atau mononuklear dalam jumlah yang
banyak, sebagian bergantung pada keadaan akut proses
tersebut dan sebagian lagi pada sifat alami
mikroorganisme sebagai penyebab infeksi.
73. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pada infeksi
dengan organisme piogen pada stadium akut terdapat
leukositosis polimorfonuklear, terkecuali pada stadium
kronis. Sedangkan pleiositosis mononuklear lebih sering
dilihat pada infeksi virus neurotropik, walaupun bisa juga
terdapat sel – sel polimorfonuklear pada infeksi akut
virus. Pada meningitis purulenta terdapat pleiositosis
polimorfonuklear dalam jumlah yang besar, dan pada
beberapa bentuk infeksi akut oleh virus jumlah sel dapat
mencapai 1000/mm3. Walaupun biasanya tidak melebihi
200 atau 300.
74. Pleiositosis Mononuklear
Keadaan ini terdapat pada :
1. Neurosifilis
2. Meningitis tuberkulosa (beberapa kasus)
3. Poliomielitis setelah beberapa hari infeksi
4. Sklerosis diseminata pada eksaserbasi akut
5. Abses otak
6. Perdarahan subaraknoid
75. Pleiositosis Mononuklear 1000/mm3
Terdapat pada :
1. Meningitis oleh virus
2. Ensefalitis
3. Lesi – lesi demielinisasi akut, terutama pada anak
4. Infeksi parasit otak
5. Infeksi jakur otak
6. Karsinoma meningeal
7. Tumor selebri yang terletak di sisterna ventrikel
(meduloblastoma)
76. Bilamana terdapat pleiositosis mononuklear, kadar
glukosa likuor kurang dari 40 mg/100 ml. maka harus
dipikirkan kemungkinan – kemungkinan :
1. Meningitis tuberkulosa
2. Abses otak
3. Torulosis
77. Pleiositosis Campuran
Terdapat sel – sel polimorfonuklear dalam jumlah
yang kurang lebih sama dengan sel – sel mononuklear
dijumpai pada :
1. Meningitis tuberkulosa
2. Poliomielitis
3. Meningitis oleh virus
4. Abses otak
5. Neurosifilis
6. Metastase otak
78. Pleiositosis Polimorfonuklear
Dilihat dari beberapa keadaan antara lain :
1. Meningitis purulenta (beberapa ribu/mm3 dan banyak
sel – sel nanah), terutama pada stadium permulaan.
2. Meningitis leptospiral
3. Reaksi alergis dari meningitis
4. Penyakit pembuluh darah otak (PPDO) atau stroke
5. Meningitis tuberkulosa (mula – mula pleiositosis
mononuklear)
6. Abses otak
7. Koriomeningitis limfositaria akuta.
79. Protein
Kadar protein, glukosa dan klorida dalam likuor
serebrospinalis mempunyai hubungan langsung dengan
kadar dalam darah. Di negara – negara berkembang
kadar protein likuor agak rendah dibandingkan dengan
negara – negara maju. Keadaan ini tidak disebabkan
karena nutrisi kurang baik, tetapi rasio albumin/globulin
terbalik, yaitu jumlah globulin dalam protein total lebih
tinggi akibat prevalensi infeksi yang tinggi. Kadar
protein total dalam likuor serebrospinalis adalah 15-45
ng/100 ml, likuor sisterna 10-25 mg/100 ml dan likuor
ventrikel 0-5 mg/100ml.
80. Kadar Protein Tinggi
Kadar protein yang rendah tidak mempunyai arti
banyak dalam klinik, yang lebih penting ialah bila kadar
protein tinggi, yaitu 1000 mg/100 ml yang dilihat pada :
1. Meningitis purulenta
2. Sindrom Guillian-Barre
3. Meningitis karsinomatosa
4. Perdarahan subaraknoid
81. Kadar protein mg/100 ml terdapat pada :
1. Keempat penyakit tersebut di atas
2. Blok spinal komplit, sindrom Froin
3. Neurofibroma akustik
4. Hemangioblastoma sereblum dan medula spinalis
5. Neurosifilis
6. Kolagenosis
7. Hematoma subdural
8. Sindrom Refsum
82. Kadar protein 200 mg/100 ml terdapat pada
beberapa keadaan :
1. Tumor intrakranial
2. Abses otak
3. Meningitis
4. Ensefalitis
5. Meningoensefalitis
6. Poliomielitis
7. Sesudah serangan PPDO (infarksio serebri,
perdarahan intrakranial )
8. Amiotrofi dibetika
9. Nueropati karsinomatosa
10. Sindrom Refsum
83. Bila kadar protein tinggi, lebih dari 500 mg%.
Likuor akan jadi kental dan cepat membeku pada
permukaan. Fenomena ini dikenal sebagai sindrom Froin
yang terdiri dari :
• santokrom
• pleiositosis
• koagulasi masif likuor
Sindrom Froin terdapat pada kelompok penyakit :
1. Blok
2. Obstruksi jalan likuor di daerah spinal seperti pada
spondilitis tuberkulosa, abses epidural, tumor di
kanalis ventralis dan araknoiditis spinal.
3. Infeksi kronis antara lain sepsis, meningitis
4. Pada kelainan imunologik susunan saraf pusat seperti
sindrom Guillain-Barre
84. Peningkatan nilai protein pada keadaan –
keadaan tersebut di atas mungkin karena
sirkulasi likuor terganggu, kebocoran antara
sawan darah-otak, sehingga likuor spinal tidak
mengalami proses pembaharuan dan penyegaran,
menyebabkan protein plasma masuk ke dalam
likuor.
85. Nilai Protein Rendah
Nilai protein rendah dalam likuor, yaitu 15 mg/100
ml terdapat pada beberapa keadaan :
1. Bayi normal di atas umur 6 bulan
2. Bila pengambilan likuor terlalu banyak seperti pada
pneumoensefalografi, likuor bagian spinal diencerkan
dengan likuor dari sisterna magna.
3. Pada 1/3 penderita dengan hipertensi intrakranial
benigna
4. Pada intoksikasi air akut yang disertai dengan
tekanan intrakranial yang meningkat
5. Hipotiroidisme sesudah terapi
6. Leukimia (tak dapat diterangkan)
86. Rasio Albumin/Globulin
Rasio albumin/globulin pada likuor yang normal
adalah ± 8:1. Pada infeksi terdapat kenaikan selektif dari
globulin. Test Nonne untuk menentukan kelebihan
globulin sekarang kurang dipakai. Yang lebih akurat
adalah cara elektroforesis, sehingga dapat diketahui
beberapa keadaan antara lain pada sklerosis multipleks
dengan peningkatan globulin dan imunoglobulin yang lain.
Bila nilai protein total normal, tetapi gama globulin lebih
dari 26%, maka hal ini condong ke sklerosis multipleks.
Juga pada ensefalitis sub-akut dan neurosifilis terdapat
peningkatan gama globulin.
87. Glukosa
Pada orang normal kadar glukosa likuor adalah 60-
80% dari kadar glukosa darah. Dalam keadaan normal
glukosa dalam likuor 45-80mg/100 ml dengan kadar
glukosa darah 80-120mg%. Glukosa likuor sedikit lebih
tinggi daripada darah karena terjadi glukolisis. Bila
kadar glukosa darah meningkat, maka secara perlahan –
lahan kadar dalam likuor juga naik. Sebagai contoh pada
pemberian insulin, kadar glukosa darah cepat menurun,
tetapi diperlukan beberapa jam agar glukosa likuor
menjadi normal.
88. Derajat glukolisis meningkat bilamana terdapat
banyak sel dan bakteri dalam likuor, karena glukosa
diuraikan menjadi asam laktat.
Tiga faktor yang menentukan kadar gkukosa dalam
likuor, yaitu :
1. Kadar glukosa darah
2. Keseimbangan antara kadar glukosa likuor dan darah
yang terjadi perlahan – lahan.
3. Derajat glukolisis
Cara menentukan kadar glukosa dalam likuor
adalah sama dengan darah, sebelumnya likuor ditambah
larutan Natrium fluorida atau dibebaskan dari protein.
Pada setiap pemeriksaan kadar glukosa likuor harus
diperiksa sebelumnya kadar glukosa darah.
89. Kadar glukosa likuor bergantung pada kadar glukosa
darah, karena perubahan – perubahan glukosa darah akan
mempengaruhi glukosa likuor. Kadar glukosa yang tinggi
terdapat pada penderita diabetes melitus dengan
hiperglikemia.
Kadar glukosa rendah terdapat pada :
1. Meningitis purulenta, paling rendah pada meningitis
oleh meningokok.
2. Meningitis tuberkulosa, karea glukosa digunakan oleh
kuman TB untuk berkembang biak
3. Pleiositosis limfositer (< 20mg/100ml)
4. Kejang demam pada bayi, kadar glukosa bisa sampai
nol, karena itu kejang demam sebaiknya diberikan
glukosa atau dekstrosa i.v. sebagai terapi.
90. Bila nilai glukosa likuor < 40mg/100ml, ini
menunjukkan keadaan yang abnormal. Meningkatkan
kadar glukosa likuor tak mempunyai arti yng banyak
dalam klinik, misalnya pada bayi prematur dan neonatus
rasio glukosa darah dan likuor mendekati angka 1,0.
Kadar glukosa yang tinggi terdapat pada
ensefalitis, khoriomeningitis limfositer, neurolues dan
meningitis non-bakterial.
Kadar glukosa likuor yang rendah terdapat pada
beberapa keadaan, antara lain :
1. Hipoglikemia
2. Meningitis bakterial akut < 20mg/100ml, biasanya
sampai nol
3. Meningitis tuberkulosa
4. Meningitis oleh jamur
91. Rendahnya kadar glukosa likuor pada infeksi
selaput otak disebabkan oleh :
• pemakaian glukosa tinggi akibat glukolisis anaerob
meningkat di jaringan saraf sekitarnya oleh leukosit
polimorfonuklear.
• hambatan masuknya glukosa karena perubahan dalam
sistem transport pada membran yang bertanggung
jawab atas transport glukosa dari darah ke likuor.
92. Kadar Klorida
Kadar klorida likuor yang normal adalah 110-130
mEq/liter atau 700-750 mg%/100cc, jadi lebih tinggi
daripada di dala darah (96-103 mEq/liter). Rasio klorida
likuor : plasma adalah 1:2, bergantung pada ketentuan
Gibbs-Donnan.
Protein diionisasi negatif dan untuk
mempertahankan netralitas elektrik (Electric neutrality)
di dalam likuor yang bebas protein, maka harus terjadi
peningkatan ion –ion klorida.
Kadar klorida rendah terdapat pada :
1. Meningitis, terutama meningitis tuberkulosa
2. Lesi desak ruang (Space Occupying Lesion)
3. Trombosis sinus kavernosus
4. Muntah - muntah
93. Muntah merupakan gejala penting dalam
klinik neurologi, sering akibat infeksi
intrakranial, lesi desak ruang, trombosis sinus
kavernosus dll.
Kadar klorida likuor meningkat bila kadar
klorida darah meningkat seperti yang terdapat
pada nefritis terutama uremia
94. Reaksi Serologik Likuor Serebrospinalis untuk Sifilis
Likuor orang normal atau sehat tidak
memperlihatkan reaksi positif terhadap suatu infeksi
pada pemeriksaan serologik. Infeksi susunan saraf pusat
memperlihatkan beberapa reaksi aglutinasai positif pada
likuor. Setiap penderita yang dicurigai kemungkinan
menderita infeksi sifilis (neuroleus) harus dilakukan
pemeriksaan reaksi serologik, yaitu :
1. Pemeriksaan atau test Wassermann (complement-
fixation test)
2. Pemeriksaan atau test Kahn (test flokulasi,
presipitasi).
3. VDRL (Veneral Disease Research Laboratories)
95. Interpretasi test – test ini tidak mudah, karena
hasil negatif belum berarti tidak ada infeksi sifilis,
demikian juga sebaliknya. Hasil test dapat positif palsu,
karena likuor mengandung darah, pada perdarahan
subaraknoid, mononukleosis infeksiosa, malaria,
tripanosomiasis, penyakit – penyakit kolagen dan
treponema tertentu (bukan terponema palidum).
Dengan demikian perlu reaksi pelengkap lain yang
menggunakan antigen treponema palidum, seperti :
• Test Antibodi Treponema fluoresen (Fluorescent
Treponema Antibody Test)
• Test Imobilisasi Treponema Palidum (Treponema
Pallidum Immobilization Test)
Test – test ini penting untuk menyingkirkan hasil –
hasil test positif palsu.
96. Leukosit
Untuk menghitung leukosit dalam likuor
diperlukan :
1. Pipet leukosit
2. Larutan Turk yang jenuh
3. Alat hitung Fuchs-Rosenthal
Likuor dikocok agar sel –sel terbagi dengan baik.
Dengan pipet leukosit larutan Turk sampai angka 1,
kemudian likuor diisap sampai angka 11 dan dikocok
selama ± 3 menit. Dua sampai 4 tetes pertama dibuang,
kemudian tetes berikutnya dimasukkan ke dalam alat
hitung Fuchs-Rosenthal, dibiarkan selama ± 5 menit dan
dihitung jumlah sel.
97. Alat hitung Fuchs-Rosenthal mempunyai
kedalaman 0,2 mm, pembagian ruang adalah 4 x
4 mm (garis – garis merupakan pembagian dalam
mm). Sehingga setiap mm3 dibatasi oleh garis,
jumlah seluruhnya adalah 16. Untuk menentukan
luasnya harus dibagi 16, untuk kedalaman
dikalikan dengan 5 dan untuk pengeceran
dikalikan dengan 0,9 (di dalam bagian yang bulat
pipet 1 bagian larutan dicampur dengan 9 bagian
likuor).
98. Bila jumlah sel adalah (a), maka jumlah sel/mm3 :
a 10 50a a
x 5 x = = ±
16 9 144 3
Bilamana tidak tersedia alat hitung Fuchs-
Rosenthal dapat dipakai alat hitung Burker, disini jumlah
sel/mm3 adalah :
a 10 5
x 10 x = a
9 9 4
99. Arti Klinik
Jumlah sel lebih dari 5/mm3 menunjukkan keadaan
patologik. Dalam keadaan normal hanya terdapat limfosit
dan beberapa monosit, tidak dijumpai leukosit
polimorfonuklear, sel – sel plasma dan eritrosit. Bila
jumlah sel meningkat disebut pleiositosis.
Pada meningitis purulenta jumlah sel
polimorfonuklear meningkat, sedangkan pada meningitis
tuberkulosa, meningitis tuberkulosa, meningitis luetika
dan meningitis aseptik jumlah sel tak begitu meningkat,
yang paling banyak adalah limfosit.
100. Pada umumnya penuingkatan jumlah sel disertai
dengan peningkatan protein dalam likuor. Bila kadar
protien meningkat, tetapi jumlah sel tidak, maka keadaan
ini disebut disosiasi albuminsitologik yang terdapat pada
beberapa keadaan, antara lain :
• kompresi medula spinalis
• tumor intraserebral
• sindrom Guillain-Barre
Bila jumlah sel bertambah tetapi kadar protein
tidak, disebut disosiasi sito-albumin yang terdapat pada
ensefalitis dan stadium paralitis poliomielitis. Pada bayi
baru lahir jumlah sel agak meningkat bisa sampai
20/3 per mm3.
101. Pemeriksaan Protein Secara Kualitatif
1. Dengan asam sulfosalisil
Reaksi berdasarkan bahwa asam sulfo salisil
mempresipitasi protein dalam larutan yang sangat
encer. Pada beberapa tetes likuor ditambahkan 1
tetes larutan asam amino sulfosalisil 20%. Bila
terdapat protein akan terjadi presipitasi atau
endapan Dari derajat persipitasi dapat ditentukan
jumlah atau kadar protein dalam likuor.
2. Reaksi Nonne-Apelt
Reaksi berdasarkan bahwa globulin akan mengendap
dalam larutan amonium sulfat setengah jebuh. Dalam
tabung reagens atau tabung Widal likuor dicampur
(likuor dapat disentrifugasi lebih dahulu) dengan
larutan asam sulfat jenuh (sebelumnya telah
difiltrasi) dalam jumlah yang sama.
102. Dalam tabung lain likuor dicampur dengan akua
destilata dalam jumlah yang sama. Bandingkan
kekeruhan setelah ± 3 menit, kadang – kadang
diperlukan latar belakang hitam.
3. Reaksi Pandy
Pada cawan gelas dituangkan 0,5 ml reagens Pandy
dan di pinggir cawan diteteskan likuor. Jangan
teteskan likuor di tengah – tenagh reagens, tetapi di
pinggirnya. Normal terjadi sedikitkekeruhan, reaksi
dikatakan positif bila terdapat pengendapan atau
kekeruhan yang jelas.
103. Dalam klinik resaksi Nonne-Apelt dan
Pandy sering digunakan untuk menentukan
adanya globulin. Reaksi Pandy lebih peka dari
pada Nonne-Apelt yang kurang lebih sama
denagn reaksi Ross-Jones. Pada likuor normal
reaksi Nonne-Apelt dan Pandy negatif. Reaksi
positif tidak spesifik, tetapi sering terjadi pada
banyak kelainan susunan saraf pusat baik akut
maupun kronis, juga pada kompresi.
104. Kepustakaan
Adams, R.D., & Victor, M. 1997 Principles of Neurology,
McGraw-Hill Book Company, A blakenstein publication.
Bannister, S.R. 1988 Brain’s Clinical Neurology, 5-th Ed,
Oxford University Press, New York, Toronto.
Bell, W.E., & Mc.Cornich, W.F. 1975. Neurologic Infections in
Children, WB Saunders Company, Philadelphia,
Toronto-London.
Chusid, J.G. 1979 Correlative Neuronatomy and Functional
Neurology, 17th Ed, Mauruzen Asia Edition, Tokyo.
Dada, T.O. 1975 Medicine in the Tropics, 1 st ed. Churchill
Livingstone, Edinburg-London, New York.
Department of Neurology, Mayo Clinic. Clinical Examination in
Neurology, 3rd ed, Asian ed, WB Saunders Company
Philadelphia-Toronto Igaku Shoin Ltd Tokyo.
105. Fishman, R.A. 1978 Cerebrospinal fluid, lumbar puncture in
AB Baker & LH Baker (eds): Clinical Neurology Vol.I, 1-
40, Harper & Row Publishers, Hagerstown, Maryland.
Gamstrop, I. 1985 Pediatric Neurology, 2nd ed, Butterworths-
London- Boston.
Gilroy., J.S. & Meyer, J. 1975 Medical Neurology, 2nd ed.,
McMillan Publ.Co.Inc., New York.
Gorter, E., & Craaf, W.C. 1956 Klinische Diagnostiek, 7e druk,
Deel II, H.E. Stenfert Kroese NV Leiden.
Lenman, J.A.R. 1975 Clinical Neurophysiology, Blackwell
Scientific Publication, Oxford, London, Edinburgh,
Melbourne.
Lewis, J.A. 1976 Mechanism of Neurological Disease, 1st ed,
Little Brown and Company, Boston.
Mardjono & Sidharta, P. 1978 Neurologi Klinis Dasar, PT Dian
Rakyat, Jakarta.
106. Purboyo, R.H. 1983 Pungsi Lumbal pada anak, KPPIK-XI:
Kejang Pada Anak, Jakarta.
Snell, R.S. 1980 Clinical Neuro-anatomy for Medical Student,
Little Brown and Company, Boston.
Shorvon, S. 1983 Lumbar CSF normal values, International
Medicine, 1:28-30.
Tjiuadi, J. 1993 Kapita Selekta Neurology, Cetakan Pertama,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Walton, J.W. 1975 Essentials of Neurology, 4th ed, Pittman
Medical, Londo.