SlideShare a Scribd company logo
1 of 27
Mewujudkan Jalan Berbayar (Electronic Road Pricing) di Jakarta.
Belajar dari Pengalaman Kota Mancanegara
Oswar Mungkasa
April 2023
ii
You can't understand a city
without using its public transportation system.
Erol Ozan
iii
Sapa dari penulis
Terima kasih sudah mengunduh, menyimpan, membaca,
mendistribusikan bahkan turut menyampaikan langsung isi makalah
panjang ini. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi kita semua
demi
almamater,bangsa dannegara
Sedikit tentang Penulis
Lahir lebih dari 59 tahun yang lalu di Makassar
berlatar belakang pendidikan
perencanaan kota dan wilayah (S1, ITB dan S2, GSPIA University of Pittsburgh USA) dan
ekonomi publik (S3, UI).
bekerja sepanjang hampir 40 tahun
dimulai sejak mahasiswa sebagai konsultan berbagai perusahaan konsultan perencanaan kota dan wilayah,
dilanjutkan sebentar sebagai peneliti pada pusat penelitian,
selanjutnya menjadi pegawai sampai kepala cabang pembantu bank swasta nasional,
akhirnya memilih menjadi PNS
dengan karir awal pada lembaga perencanaan pembangunan nasional dan
sempat menjabat sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan (Bappenas),
berpindah sebentar ke kementerian teknis
sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran (Kementerian Perumahan Rakyat),
dan sempat meniti karir pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
sebagai Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup
Saat ini penulis menjadi fungsional perencana utama (PAU) Kementerian PPN/Bappenas.
Selain juga menjadi pengurus beberapa organisasi kemasyarakatan yaitu Housing and Urban Development Institute
(HUD Institute), Dana Mitra Lingkungan (DML), Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Jejaring AMPL),
Hands for Help
Portofolio penulis dapat dilihat pada
https://www.academia.edu/oswarmungkasa
https://www.researchgate.net/profile/Oswar-Mungkasa
email : oswar.mungkasa63@gmail.com
i
DAFTAR ISI
halaman
Daftar Isi ………………………………………………………………………………... i
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………. ii
Daftar Gambar …………………………………………………………………………. ii
Daftar Singkatan ……………………………………………………………………….. iii
BAB I Latar Belakang ……..……………………………………………..……….... 1
BAB II Konsep Jalan Berbayar (Elektronik)/Electronic Road Pricing ..………….. 4
2.1 Pemahaman Dasar ……………………………………………………….. 4
2.2 Manfaat dan Dampak ……………………………………………………. 4
2.3 Pengelolaan Permintaan Perjalanan (Travel Demand Management/TDM) 6
BAB III Ragam Pembelajaran Penerapan Jalan Berbayar Kota Mancanegara .… 8
3.1 Pembelajaran Kota Mancanegara ……………………………….. 8
3.1.1 London (Inggris) ….……………………………………………... 8
3.1.2 Stockholm (Swedia) …………………………………………….. 9
3.1.3 Singapura ………………………………………………………... 10
3.1.4 Milan (Italia) …………………………………………………….. 11
3.1.5 Edinburgh (Skotlandia) ………………………………………….. 12
3.1.6 New York (AS) ………………………………………………….. 12
3.1.7 Hong Kong ………………………………………………………. 12
3.2 Faktor Berpengaruh Nyata terhadap Penerimaan Masyarakat …………… 13
3.2.1 Penyalahgunaan Data Pribadi ……………………………………. 13
3.2.2 Keadilan ………………………………………………………….. 13
3.2.3 Meningkatnya Risiko/Ketidakpastian ……………………………. 13
3.2.4 Kesulitan Penerapan/Kerumitan …………………………………. 14
3.3 Faktor Berpengaruh Lain ………………………………………………… 15
3.4 Keterbatasan Skema Jalan Berbayar …………………………………….. 16
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi ………………………………………………... 17
4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 17
4.2 Rekomendasi …………………………………………………………….. 18
Daftar Rujukan …………………………………………………………………………… 20
ii
Daftar Tabel
halaman
Tabel 1 Kategori Jalan Berbayar ..…………………………….…………………..…. 7
Tabel 2 Dampak Penerapan ERP Singapura ………………………………………… 10
Daftar Gambar
halaman
Gambar 1 Manfaat Penyelenggaraan Jalan Berbayar (ERP) ……..……………….…… 6
iii
Daftar Singkatan
AS Amerika Serikat
ALS Area Licensing Scheme
BRT Bus Rapid Transit
CP Congestion Pricing
DKI Daerah Khusus Ibukota
ERP Electronic Road Pricing
ERPS Electronic Road Pricing System
HOV High-occupancy Vehicle
Jabodetabek Jakarta Bogor Tangerang Bekasi
KRL Kereta Rel Listrik
LRT Light Rail Transit
MRT Mass Rapid Transit
PM Particulate Matter
1
BAB I
Latar Belakang
Kemacetan lalu lintas telah menjadi masalah besar pada hampir seluruh kota dunia. Selain
bertambah waktu perjalanan, penurunan efektivitas sistem transportasi, juga berdampak parah
pada kondisi lingkungan yang dapat berujung pada menurunnya pertumbuhan ekonomi sehingga
membatasi pembangunan berkelanjutan daerah.
Jakarta sebagai kota Metropolitan terbesar kedua di dunia setelah Tokyo juga menghadapi
permasalahan kemacetan yang juga mengkhawatirkan. Bahkan hasil penelitian TomTom Traffic
Index menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Jakarta menempati peringkat ke-29 kota termacet
dari 389 kota di dunia. Namun, untuk lingkup Asia Tenggara, Jakarta menempati posisi kedua.
Dibandingkan hasil penelitian lembaga yang sama pada tahun 2021 dan 2022, terlihat
kondisi kemacetan Jakarta saat ini memburuk. Pada tahun 2021, Jakarta menduduki posisi ke-46
dari 404 kota yang diukur dari 58 negara di 6 benua. Sementara tahun 2020, Jakarta menempati
urutan ke-31 (CNN Indonesia, 2023).
Tentu saja, Pemerintah DKI Jakarta tidak tinggal diam menghadapi masalah ini. Beragam
upaya telah dilakukan seperti
a. Three-in-one, berupa pembatasan jumlah minimal penumpang sebanyak 3 orang pada ruas
jalan utama tertentu pada jam sibuk. Namun, kebijakan tersebut telah dibatalkan pada tahun
2016 karena dipandang sudah tidak efektif lagi. Hal ini dikarenakan beberapa kelemahan
antara lain: (i) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan lokal,
sehingga pengguna jalan akan mencari jalan lokal atau biasa disebut ”jalan tikus” untuk
menghindari kawasan three-in-one, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (ii)
beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan
imbalan sejumlah uang untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi tiga, dan (iii) daerah
cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen
permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang
baik (Christiarini, 2011).
Penelitian terbaru menunjukkan pembatalan kebijakan three-in-one ternyata
memperburuk kondisi lalu lintas dengan meningkatnya meningkat waktu tunda secara
2
signifikan khususnya pada kawasan three-in-one terutama selama jam sibuk (Hanna,
Kreindler, dan Olken, 2017 dalam Sunitiyoso dkk., 2020).
b. Ganjil-Genap (GaGe), berupa pembatasan akses mobil pribadi pada ruas jalan utama tertentu
berdasar kriteria tanggal ganjil dan genap sejak tahun 2016. Pasca pemberlakuan kebijakan
plat nomor ganjil genap, 24% pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum, 23%
beralih ke layanan tumpangan atau taksi, dan 53% tidak beralih moda transportasi dan masih
menggunakan kendaraan pribadi (Kusumaputra, 2018 dalam Sunitiyoso dkk., 2020).
c. Peningkatan layanan angkutan umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek,
TransJakarta, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Bus Rapid
Transit/Busway (BRT), dan Kereta Bandara, yang telah mulai terpadu.
Namun, upaya ini ternyata masih belum cukup memadai terbukti dari kenyataan bahwa
Jakarta masih termasuk kota ke-29 termacet di dunia. Dibutuhkan upaya tambahan melengkapi
layanan transportasi yang telah ada.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak analis dan pembuat kebijakan memusatkan perhatian
mereka pada masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya perkotaan yang semakin
mengkhawatirkan. Salah satu jalan keluar yang dipandang paling mumpuni saat ini adalah skema
jalan berbayar (road pricing) yaitu penerapan tarif kemacetan pada penggal jalan tertentu di
kawasan padat perkotaan. Jalan berbayar telah dipromosikan secara luas oleh para perencana
transportasi dan ekonomi karena efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan lalu lintas,
meningkatkan kualitas udara, dan meningkatkan pendapatan untuk sistem transportasi (Decorla-
Souza dan Kane, 1992; Anas dan Lindsey, 2011; Wang dkk., 2013; Liu dkk., 2017 dalam
Sunitiyoso dkk., 2020).
Pemerintah DKI Jakarta pada beberapa tahun terakhir telah menjadikan skema jalan
berbayar, yang dikenal sebagai Electronic Road Pricing (ERP), sebagai salah satu jalan keluar
kemacetan Jakarta. Walaupun sepertinya tersendat-sendat tetapi beberapa waktu terakhir
Pemerintah DKI Jakarta telah mengumumkan akan segera menerapkan skema jalan berbayar pada
beberapa ruas jalan.
Namun upaya ini bukannya tanpa tentangan dari berbagai kalangan mulai dari pakar
transporttasi, praktisi, perencana kota bahkan juga masyarakat pengguna jalan. Beragam alasan
yang dikemukakan seperti penerapan jalan berbayar seperti ERP tidak efektif jika tidak didukung
oleh transportasi umum yang baik, penerapan ERP memberatkan masyarakat yang telah membayar
3
pajak. Walaupun banyak juga pihak yang mendukung dengan catatan sepanjang dapat mengurangi
kemacetan secara nyata.
Terlepas dari kontroversi pro dan kontra terhadap skema jalan berbayar (ERP), telaahan ini
bermaksud menyajikan konsep dasar, pembelajaran kota mancanegara, untuk kemudian
dilengkapi rekomendasi kebijakan penerapan skema jalan berbayar (ERP). Diharapkan hasil
telaahan dapat menjadi salah satu rujukan pengambil keputusan dalam upaya penerapan skema
jalan berbayar secara lebih baik dan optimal.
4
BAB II
Konsep Jalan Berbayar Elektronik
(Electronic Road Pricing)
2.1 Pemahaman Dasar
Pada awalnya ERP dikenal sebagai konsep tarif kemacetan (congestion charging) yang
pertama kali diperkenalkan oleh Pigou pada tahun 1920, namun banyak penelitian sejak itu telah
dilakukan untuk mengembangkan dan menyempurnakannya. Dengan berkembangnya teknologi
kemudian konsep ini berkembang seiring dengan pemanfaatan teknologi digital dalam
penerapannya. Sehingga saat ini lebih dikenal sebagai Electronic Road Pricing (ERP), yaitu
penerapan jalan berbayar berbasis elektronik. Keunggulannya, memudahkan proses pembayaran
dan memungkinkan diterapkannya tarif yang berbeda-beda sesuai kondisi kemacetan lalu lintas.
ERP dimaksudkan menurunkan tingkat kemacetan di ruas jalan tertentu. Sistem ini mampu
secara otomatis berfungsi seperti gerbang tol tanpa harus menurunkan atau menghentikan
kecepatan kendaraan yang akan melalui jalan dengan sistem ERP seperti yang terjadi di jalan tol.
Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan pengguna kendaraan
pribadi hingga minimal dan mengarahkan pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan
memanfaatkan angkutan umum. (Christiarini, 2011).
2.2 Manfaat dan Dampak
Penerapan ERP dapat meningkatkan arus lalu lintas yang mengakibatkan waktu tempuh
lebih sedikit dan biaya perjalanan pun menjadi lebih murah. Sementara manfaat lainya diantaranya
adalah
a. meningkatnya kualitas lingkungan berupa berkurangnya polusi udara, dan polusi suara
b. meningkatnya sumber penerimaan pemerimtah yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas kendaraan umum
c. menjamin persamaan hak pengguna jalan, diantaramya berupa pemberian kewajiban lebih
berat bagi pengendara jalan yang menyumbang terhadap kemacetan.
Secara umum, manfaat jalan berbayar dapat dipandang dari 4 (empat) sisi yang saling
berkaitan, yaitu (i) lalu lintas, (ii) transportasi, (iii) lingkungan; (iv) hukum. Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar berikut.
5
Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, 2023.
Gambar 1 Manfaat Penyelenggaraan Jalan Berbayar (ERP)
Sementara menurut Christiarini (2020) beberapa dampak dari skema ERP adalah :
a. Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya kelancaran lalu lintas
yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan biaya perjalanan.
b. Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management) dalam aspek
lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan mengurangi polusi bunyi dan
getaran.
c. Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi fasilitas perkotaan
sesuai dengan fungsinya.
d. Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi
pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk meningkatkan kualitas angkutan
umum.
e. Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat memberikan keadilan
bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban yang lebih berat bagi pengguna jalan
yang lebih berkontribusi terhadap kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki
dan penghuni daerah lokal pun diharapkan dapat terealisasi.
6
2.3 Pengelolaan Permintaan Perjalanan (Travel Demand Management/TDM)
Kemacetan di perkotaan sebenarnya berawal dari banyaknya bangkitan lalu lintas yaitu
perjalanan yang terjadi akibat adanya kebutuhan pergerakan dari satu lokasi ke lokasi lain untuk
tujuan tertentu. Sehingga upaya yang dilakukan diantaranya adalah mengurangi sebanyak
mungkin perjalanan atau stidaknya dikelola agar tidak terjadi kemacetan.
Salah satu pendekatan yang banyak dipergunakan dikenal sebagai pengelolaan permintaan
perjalanan (travel demand management/TDM), yang dimaksudkan sebagai upaya mengurangi
perjalanan terutama menggunakan kendaraan pribadi serta mendorong penggunaan moda
transportasi yang lebih sehat, lebih ramah lingkungan.
Pendekatan ini dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori yaitu
a. Instrumen ekonomi, mengedepankan insentif atau disinsentif dalam upaya mengurangi
perjalanan. Salah satu bentuknya adalah jalan berbayar (road pricing) atau biaya kemacetan
(congestion charging), yaitu pengenaan biaya langsung kepada pengguna jalan sebagai
persyaratan melewati ruas jalan tertentu. Walaupun tujuan utama jalan berbayar adalah
mengurangi kemacetan, namun setidaknya terdapat tujuan ikutan seperti mengurangi
dampak lingkungan, mendorong penggunaan transportasi umum, bahkan juga menjadi
sumber pendapatan bagi peningkatan kualitas layanan transportasi umum. Selengkapnya
pada Tabel berikut.
Tabel 1 Kategori Jalan Berbayar
Skema Penjelasan Tujuan
Jalan Tol (tarif tetap)
Pengenaan biaya atas penggunaan
jalan tertentu
Untuk meningkatkan pendapatn
dan investasi
Biaya Kemacetan
(congestion pricing)
Pengenaan biaya yang jumlahnya
disesuaikan berdasar tingkat
kepadatan. Makin padat makin
mahal.
Untuk meningkatkan pendapatan
dan mengurangi kemacetan
Cordon fees
Penggunaan biaya atas penggunaan
jalan tertentu
Mengurangi kemacetan di pusat
kota
HOV lanes
Pengenaan biaya bagi kendaraan
dengan daya muat kecil
Mendorong peralihan ke
kendaraan berkapasitas besar
Biaya berdasar jarak
(distance-based fees)
Pengenaan biaya berdasar jarak
tempuh
Meningkatkan pendapatan dan
mengurangi masalah lalu lintas
Pay-as-you-drive
insurance
Pembayaran berdasar jarak sehingga
jumlah asuransi tidak tetap
Mengurangi masalah lalu lintas
terutama kecelakaan lalu lintas
Sumber: Diolah dari Susantono, 2010 dalam Christiarini, 2011.
7
b. Instrumen kerjasama (Cooporative Instrument), berupa keterlibatan perorangan, swasta atau
institusi pemerintahdalam upaya mengurangi kemacetan seperti carpooling (bus jemputan
pegawai).
c. Instrumen Aturan (Regulatory Instrument), biasanya ditetapkan oleh pemerintah yang berisi
standar, larangan dan prosedur mengurangi kendaraan pribadi seperti hari bebas kendaraan,
three-in-one, ganjil-genap.
8
BAB III
Ragam Pembelajaran Penerapan Jalan Berbayar Kota Mancanegara
Pada dasarnya di dunia ini Electronic Road Pricing (ERP) lebih dikenal dalam nama
generiknya yaitu Congestion Pricing (CP). Beberapa kota dunia telah menerapkan seperti London,
Stockholm, Singapura, Edinburgh, New York, Hongkong dan Milan1
. Tentu saja tidak semua
berhasil, namun kegagalan juga dapat menjadi pembelajaran. Sementara beberapa kota Indonesia
selain Jakarta juga pernah berupaya menerapkan skema ini.
3.1 Pembelajaran Kota Mancanegara
3.1.1 London (Inggris)
Perhatian terhadap skema biaya kemacetan/jalan berbayar (congestion pricing) telah
berlangsung sejak tahun 1965 yang menegaskan bahwa skema ini dapat memperbaiki kualitas lalu
lintas dan lingkungan bahkan menaikkan pendapatan. Setelah melalui penelitian awal selama tiga
dekade, skema jalan berbayar akhirnya diterapkan pada tahun 2003. Tujuannya adalah mengurangi
kemacetan, menugkatkan kehandalan waktu perjalanan dan mengurangi polusi udara (Christiarini,
2011).
Hasilnya menunjukkan pengurangan kendaraan yang berpotensi dikenakan biaya dan
ekspansi yang cukup besar pada kendaraan yang dikecualikan, dan maksimal 70% pengurangan
kecelakaan pada zona biaya kemacetan. Meskipun skema ini relatif mahal, namun manfaat
ekonomi positif. Pada tahun 2005/2006, skema ini menghasilkan pendapatan bersih sekitar £122
juta, dan £100 juta telah dihabiskan untuk meningkatkan layanan bus (Santos, 2009 dalam
Selmoune, 2020).
Christiarini (2011) menyampaikan bahwa skema jalan berbayar ini berdampak pada (i)
penurunan volume lalu lintas 15%, (ii) penurunan kemacetan 30%, (iii) penurunan polusi 12%
(NOx, PM10), (iv) perjalanan menjadi lebih dapat dihandalkan; (v) jadwal bus lebih tepat; (vi)
tidak berdampak kemacetan di luar Kawasan ERP; (vii) menjadi sumber pendapatan untuk
perbaikan layanan angkutan umum.
1
Hasil pembelajaran kota mancanegara sebagian besar dikutip dengan penyesuaian dari Selmoune (2020), kecuali
dinyatakan lain.
9
Santos dan Fraser (2006) menambahkan bahwa kehandalan bus meningkat tidak hanya
sebagai hasil dari berkurangnya kemacetan pada kawasan jalan berbayar tetapi juga sebagai akibat
dari peningkatan investasi pada angkutan umum. Sejalan dengan itu, peningkatan kualitas
angkutan umum merupakan faktor penting dalam peningkatan penerimaan publik. Hal ini sejalan
hasil penelitian Small (1992), bahwa penerapan biaya kemacetan memberikan hasil yang efektif
mengalihkan pengguna mobil ke angkutan umum, menciptakan penurunan jumlah kendaraan yang
nyata dan memungkinkan waktu tempiuh kendaraan umum lebih singkat (Selmoune, 2020).
Santos (2004) melaporkan bahwa saat awal sistem diperkenalkan, dukungan publik
mencapai 49%, dan meningkat menjadi 70% setelah skema diberlakukan. Temuan ini konsisten
dengan temuan dari studi terbaru, yang melaporkan hal yuang sama berlaku di Stockholm, (mis.,
B¨orjesson dkk. (2012) (Selmoune, 2020).
3.1.2 Stockholm (Swedia)
Sebagaimana kota lainnya, perdebatan panjang dan akut mendahului sejak era 1970-an.
Bahkan tiga partai politik besar menelurkan "Paket Dennis," untuk membangun jalan baru dan
meningkatkan angkutan umum untuk mengurangi kemacetan dan pengendalian lalu lintas jalan,
dan bukannya skema jalan berbayar (Pedersen, 2003).
Namun, Paket Dennis dihentikan pada tahun 1997 karena kurangnya dukungan publik dan
selanjutnya pada tahun 2006 dilangsungkan percobaan jalan berbayar yang tujuan utamanya
adalah mengurangi volume lalu lintas, meningkatkan aksesibilitas, dan memperbaiki kualitas
lingkungan. Setelahnya melalui referendum tahun 2006 dihasilkan 51,3% penduduk Stockholm
mendukung skema jalan berbayar (Schuitema, Steg, dan Forward, 2010).
Sebuah penelitian terkait dampak skema jalan berbayar di Stockholm oleh Hugosson dan
Jonas (2006) menunjukkan aksesibilitas meningkat, waktu tempuh berkurang sebagai konsekuensi
berkurangnya volume lalu lintas dan juga menyebabkan penurunan emisi partikel dan karbon
dioksida sebesar 14% di dalam kota, dan bahkan penerimaan masyarakat meningkat setelah
percobaan. Penelitian B¨orjesson dkk. (2012) menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi
penerimaan publik adalah ternyata manfaatnya ternyata melampaui harapan. Penelitian Schade
(2007) menunjukkan bahwa setelah pengguna yakin bahwa skema pasti dilaksanakan dan tak
terhindarkan maka masyarakat menerimanya (Selmoune. 2020).
Penelitian lain menunjukkan hasil positif seperti (i) meningkatnya aksesibilitas yang
ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-
10
50%, (ii) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-
3% untuk total satu kota (Christiarini, 2011).
3.1.3 Singapura.
Sebagai sebuah negara kota, Singapura berusaha seefisien mungkin mengelola
pemanfaatan ruangnya. Sementara luasan pemanfaatan ruang untuk jalan raya telah menghabiskan
13% dari keseluruhan luas negara tersebut. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengurangi jumlah
perjalanan menggunakan kendaraan bermotor agar penambahan ruang jalan dapat dihentikan
(Ministry of Transport, 2014).
Skema Perizinan Kawasan (area licensing scheme/ALS) diterapkan pada tahun 1975, yang
merupakan zona terbatas di kawasan pusat bisnis. Phang (2004) menggambarkannya sebagai
skema jalan berbayar pertama di dunia. Dengan pengecualian untuk kendaraan dengan 4
penumpang dan lebih, selain kenaikan parkir retribusi sebesar 100% dan penerapan skema park-
and-ride (15.000 ruang parkir), keberhasilan skema ini hampir seketika karena lalu lintas turun
43% selama jam puncak (Santos, 2004).
Selanjutnya skema ini digantikan menjadi Electronic Road Pricing (ERP) pada tahun 1998,
yang pada awalnya disebut urban road user charging, dengan sistem lebih canggih dan adaptif;
pengenaan biaya berdasar jenis kendaraan, lokasi pintu masuk, dan waktunya.
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan
jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65
km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri (Christiarini, 2011).
Agarwal dan Koo (2016) menjelaskan bahwa pada Agustus 2013, pemerintah menambah
7 (tujuh) pintu masuk yang berdampak meningkatnya penumpang bus sebesar 12% sampai 20%
selama jam puncak. Sementara Santos (2005) juga melaporkan bahwa meningkatkan transportasi
publik adalah kunci sukses penetapan skema jalan berbayar (Selmoune, 2020). Sementara volume
lalu lintas menuju Kawasan ERP menurun sampai 44% (Christiarini, 2011).
Secara umum, berdasar data Kementerian Transportasi Singapura (2014), penerapan ERP
berdampak positif dan negatif. Selengkapnya pada Tabel berikut
Tabel 2 Dampak Penerapan ERP Singapura
Dampak Positif Dampak Negatif
Kemacetan berkurang nyata Perpindahan kemacetan pada jalan non ERP
11
Dampak Positif Dampak Negatif
Penggunaan transportasi umum meningkat Pengeluaran pengguna jalan meningkat
Waktu tempuh berkurang Pencurian komponen IU (alat pembayaran)
Pendapatan negara meningkat
Polusi udara berkurang
Sumber: Kementerian Transportasi Singapura, 2014 dalam Gunawan, 2014.
Efektivitas penerapan sistem ERP terukur melalui penurunan jumlah kendaraan di jalan
yang ber ERP sebesar 43% pada tahun pertama, dan peningkatan penggunaan transportasi umum
seperti bus dan monorel. Namun, berkurangnya jumlah kendaraan yang melewati jalan ERP perlu
ditinjau secara menyeluruh. Kemungkinan besar yang terjadi adalah beralihnya kendaraan ke jalan
non ERP. Sehingga yang terjadi secara keseluruhan jumlah kemacetan tidak berkurang tetapi
hanya berpindah ke jalan alternatif (Gunawan, 2014)
Kesuksesan penerapan ERP ini juga di dukung oleh kebijakan atau aturan pembatasan
jumlah kendaraan yang telah di berlakukan sebelum penerapan ERP ini di Singapura. Jumlah
kendaraan pribadi dibatasi (Gunawan, 2014).
3.1.4 Milan (Italia)
Pada tahun 2008, skema "EcoPass" diperkenalkan di Milan, semua kendaraan memasuki
pusat kota dari Senin hingga Jumat, 7.30 pagi hingga 19.30, harus membayar biaya polusi yang
sesuai dan sebanding dengan emisi kendaraan mereka (Percoco, 2013 dan 2014). Skema ini
bertujuan mengurangi polusi dan kemacetan; memang, setelah 11 bulan, lalu lintas menurun
sebesar 12,3% dan NOx dan CO2 berkurang masing-masing sebesar 17% dan 14%, pada kawasan
tersebut, sedangkan pengguna angkutan umum meningkat sebesar 9,2% (Rotaris dkk., 2010).
Skema kemudian diganti dengan "Area C" dengan biaya harian tetap 5 euro. Kendaraan
utilitas telah dibebaskan, dan kendaraan komersial mendapat diskon 2 euro (Gibson dan
Carnovale, 2015). Dampak pada lalu lintas bahkan lebih besar berupa 30,1% pengurangan lalu
lintas, 23,8% lebih sedikit kecelakaan di jalan raya, 12,5% lebih banyak pengguna angkutan umum
dengan peningkatan kecepatan rata-rata angkutan umum sebesar 11,8%, dan akhirnya
pengurangan 18% emisi PM10 setelah tahun pertama (Croci, 2016). Terdapat perubahan besar dari
skema awalnya bertujuan untuk mengurangi polusi kemudian bergeser menjadi skema biaya
kemacetan, dan uji coba menjadi faktor kunci.
12
3.1.5 Edinburgh (Skotlandia)
Skema jalan berbayar gagal disepakati melalui referendum pada tahun 2005. Pembelajaran
dari kegagalan ini adalah informasi yang kurang tersebar, termasuk media massa tidak
menyampaikan ke publik terkait manfaat skema ini. Selain itu, dukungan politik juga kurang
memadai (Selmoune, 2020)
3.1.6 New York
Pada tahun 2007, Walikota New York, Bloomberg, mengumumkan PlaNYC, yang berisi
lebih dari 120 kebijakan untuk membuat kota lebih berkelanjutan, termasuk skema jalan berbayar
(Larson dan Sasanuma, 2010). Namun kemudian skema ini ditolak oleh parlemen karena
penentangan publik dan wakil rakyat terpilih. Sejumlah penelitian seperti Odioso dan Smith (2008)
membandingkan antara survei dilakukan di London, Stockholm, dan beberapa kota di AS termasuk
New York City, untuk menganalisis faktor memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap tarif
kemacetan dan menyimpulkan bahwa responden yang memercayai manfaat dari skema atau
menggunakan moda transportasi yang berbeda cenderung menunjukkan dukungan. Kota-kota AS
sebaiknya "menjual" manfaat lingkungan dan lalu lintas, meningkatkan layanan angkutan umum,
dan memiliki rencana pendapatan yang jelas untuk meningkatkan penerimaan publik. Di sisi lain,
Gu dkk., (2018) menemukan bahwa alasan utama penolakan ini adalah kurangnya uji coba
penetapan jalan berbayar, dan solusi yang tidak memadai untuk masalah keadilan; oleh karena itu,
penolakan datang terutama dari masyarakat dan wakil rakyat terpilih (Selmoune, 2020).
3.1.7 Hong Kong
Pada tahun 1983, pemerintah Hong Kong mengumumkan pengenalan ERPS (Electronic
Road Pricing System) untuk memecahkan masalah lalu lintas. Tahap percontohan ERPS
dilaksanakan Juli 1983 sampai Maret 1985 di kawasan pusat bisnis menggunakan identifikasi
kendaraan otomatis dan hasilnya mengurangi lalu lintas sebesar 11%. Namun, terlepas dari semua
hasil positif dan alasan yang mendukung, skema ini ditangguhkan (Selmoune, 2020)
Selmoune (2020) mencatat banyak penelitian dilakukan untuk membahas kegagalan ini,
khususnya kurangnya keberanian politik (Dawson dan Catlin, 1986) dan masalah keadilan,
pengecualian, keterbukaan, dan kepercayaan yang belum terpecahkan (Ison dan Rye, 2005), alasan
“kondisi lalu lintas tidak terlihat cukup buruk” (Pretty, 1988) selain ekspansi yang cepat dan kuat
dari MRT (Mass Rapid Transit) yang sangat membantu mengurangi kemacetan di daerah (Hau,
13
1990), dan bahkan argumen tentang privasi, yang merupakan faktor yang sangat kontroversial
dalam kasus Hong Kong (Hugosson dan Jonas, 2006).
3.2 Faktor Berpengaruh Nyata terhadap Penerimaan Masyarakat
Selmoune (2020) menyimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor paling berpengaruh
terhadap penerimaan masyarakat terkait skema jalan berbayar, yaitu keadilan, kerumitan, privasi,
dan ketidakpastian. Faktor lainnya ditemui kurang berpengaruh seperti sistim tarif, dampak
lalulintas, isu administrative, biaya investasi besar, perilaku pengguna, keberadaan kampiun,
ketersediaan transportasi masal, penerimaan secara politik.
3.2.1 Penyalahgunaan Data Pribadi
Pemanfaatan skema digital mempunyai risiko bahwa data pengguna tersebar kepada pihak
yang tidak berkepentingan. Untuk itu, di Singapura, kartu ERP tidak menyimpan rincian data
pribadi pengemudi dan kendaraan (Selmoune, 2020).
3.2.2 Keadilan
Pengguna kendaraan dengan gangguan mobilitas dan pengemudi berpenghasilan rendah
adalah yang paling terpengaruh beban perjalanan saat tarif kemacetan diperkenalkan, terutama
karena keterbatasan pilihan moda perjalanan (Weinstein dan Sciara, 2006)
Selain itu, penduduk yang bertempat tinggal pada kawasan jalan berbayar juga
mempertanyakan kemungkinan beban keuangan yang harus ditanggung jika melakukan perjalanan
keluar masuk Kawasan berkali-kali.
Kota London menerapkan pengecualian bagi pengendara penyandang disabilitas, dan
menerapkan iuran tahunan bagi penghuni kawasan tersebut. Sementara kota Milan sendiri selain
mengecualikan pengendara disabilitas, juga memberi diskon bagi pengendara yang secara rutin
setiap hari melalui kawan jalan berbayar tersebut.
Penolakan kota New York didasari pertimbangan tidak tersedianya cukup kendaraan
umum sehingga ketergantungan pada kendaraan pribadi menjadi suatu keniscayaan. Sementara
kota Hong Kong membebaskan kendaraan publik seperti taksi yang kemudian dipandang tidak
adil bagi pengendara yang tidak mampu menggunakan taksi sebagai alternatif (Selmoune, 2020).
3.2.3 Meningkatnya Risiko/Ketidakpastian
Ketidakpastian adalah salah satu alasan utama yang memengaruhi pengenalan kebijakan
baru, dan tarif kemacetan tidak terkecuali. Ingberman (1985) berpendapat bahwa alasan utama
14
ketidakpastian menyebabkan kurangnya dukungan ketika memperkenalkan skema tarif
kemacetan. Sebagian masyarakat cenderung terus mempertahankan status quo ketika skema baru
diperkenalkan tanpa uji coba. De Borger dan Proost (2012) mengidentifikasi dua jenis
ketidakpastian: alokasi penerimaan/pendapatan dan efisiensi skema yang diusulkan (Selmoune,
2020)
Pemerintah kota Hong Kong tidak memberi informasi memadai kepada masyarakat.
Semakin sedikit informasi yang diterima semakin besar peluang penolakan.
Kurangnya informasi meningkatkan ketidakpastian sehingga dibutuhkan upaya pemberian
pemahaman pada masyarakat termasuk juga dengan melaksanakan uji coba. Keterbukaan terhadap
penerimaan dari skema jalan berbayar perlu dipastikan untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat. Kejelasan pemanfaatan dana jalan berbayar bagi kepentingan masyarakat khususnya
fasilitas transportasi umum meningkatkan kepercayaan akan manfaat skema ini.
Jakobsson dkk. (2000) serta Schade dan Baum (2006) juga menemukan bahwa pemahaman
yang jelas dari pengguna jalan tentang tujuan kebijakan jalan berbayar akan memberikan sikap
positif terhadap kebijakan tersebut. Studi-studi tersebut menyarankan bahwa masyarakat harus
mendapat informasi yang baik mengenai implementasi ERP yang akan datang. Mekanisme ERP
dan alokasi pendapatan harus diinformasikan secara menyeluruh dan transparan kepada publik
(termasuk sumber pendanaan, besaran subsidi pemerintah, dan lainnya). Masyarakat yang
menerima ERP memandang jalan berbayar sebagai satu-satunya kebijakan manajemen
transportasi untuk mengendalikan permintaan lalu lintas (Sunitiyoso dkk., 2020).
Informasi tersebut harus transparan atau tersedia untuk umum, sejalan dengan studi oleh
Hensher dkk. (2013) dan Gu dkk. (2018) yang menemukan bahwa penerapan kebijakan jalan
berbayar harus didukung dengan sosialisasi secara progresif mengenai dampak positif dari
kebijakan tersebut dalam mengurangi penggunaan mobil pribadi dan meningkatkan penggunaan
angkutan umum (Sunitiyoso dkk., 2020)
3.2.4 Kesulitan Penerapan/Kerumitan
Kerumitan skema yang diterapkan menjadi kendala pelaksanaan skema jalan berbayar.
Seperti kota Milan yang menerapkan skema EcoPass yang membedakan biaya berdasar jenis
kendaraan, tipe bahan bakar, emisi karbon menyulitkan pengendara. Penerimaan masyarakat
menjadi lebih besar ketika diterapkan skema yang lebih udah yaitu Area C dengan tarif flat bagi
semua kendaraan (Henser dan Li, 2013).
15
Skema jalan berbayar sebaiknya dimulai dengan skema yang sederhana sehingga mudah
dipahami dan dilaksanakan. Sebagaimana contoh Singapura yang pada tahap awal menerapkan
biaya flat sebelum menerapkan ERP yang sedikit lebih rumit dengan perbedaantarif berdasar jenis
kendaraan, waktu dan lokasi. Namun hal ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang rumit karena
pengendara sudah mulai terbiasa dengan skema dasar jalan berbayar (Phang dan Toh, 2004).
3.3 Faktor Berpengaruh Lain
Selain faktor berpengaruh yang dominan seperti dijelaskan pada bagian terdahulu,
ditengarai berdasar pembelajaran beberapa kota dunia, ditemui juga beberapa faktor yang juga
seringkali muncul, yaitu
a. Upaya pengelabuan sistim pencatatan jalan berbayar dengan menciptakan alat palsu yang
dijual di pasar gelap.
b. Biaya awal yang relatif mahal dan mekanisme pemeliharaan perangkat jalan berbayar yang
juga tidak mudah mengakibatkan beberapa kota tidak dapat membiayai sendiri skema ini.
Kerjasama dengan pihak swasta terkadang dibutuhkan dan tentu saja membutuhkan waktu
yang lebih lama.
c. Sikap masyarakat berbeda tergantung pada kepentingan pribadi. Namun jika dikaitkan
dengan manfaat selain berkurangnya kemacetan seperti polusi yang berkurang, kesehatan
lingkungan membaik, pendapatan jalan berbayar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas transportasi publik, akan cenderung meningkatkan penerimaan
masyarakat.
d. Keberadaan kampiun yang berjuang memperkenalkan skema jalan berbayar dapat
membantu penerimaan masyarakat. Selain itu, dukungan politik menjadi penting walaupun
kemudian dipahami bahwa dukungan ini juga bergantung pada penerimaan masyarakat.
Sehingga kampiun bergerak di tengah masyarakat terlebih dahulu untuk meningkatkan
pemahaman dan penerimaan masyarakat sebelum melakukan lobby kepada politikus.
e. Keberadaan transportasi publik dengan jumlah dan kualitas memadai dan terjangkau juga
berperan dalam keberhasilan skema jalan berbayar. Pengendara berpindah menggunakan
transportasi umum dengan pertimbangan lebih mudah, murah dan nyaman.
f. Selain pemanfaatan transportasi publik, beberapa pilihan lain juga dilakukan oleh
masyarakat seperti menggunakan skema carpooling (beramai-ramai menggunakan satu
kendaraan), bersepeda, berjalan kaki, atau bahkan memanfaatkan beragam moda misal
16
berkendaraan kemudian parkir di lokasi park-and-ride lalu melanjutkan dengan
transportasi publik. Disamping, juga mengurangi frekuensi perjalanan.
g. Keinginan masyarakat yang terakomodasi dalam skema jalan berbayar juga meningkatkan
penerimaan masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan masyarakat sendiri beragam
tergantung karakteristik kependudukan (usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan dan
lainnya), sehingga kebutuhan masing-masing pengguna perlu diakomodasi secara khusus
dan bukan secara umum (Selmoune, 2020)
3.4 Keterbatasan Skema Jalan Berbayar
Skema jalan berbayar biasanya diterapkan pada kawasan dengan bangkitan lalulintas tinggi
seperti Kawasan pusat kota, perkantoran, perdagangan. Dengan demikian, skema jalan berbayar
menjadi paradoksial ketika berhasil mengurangi jumlah kendaraan yang melewati kawasan
tersebut sekaligus juga mengurangi jumlah pengunjung. Jika kemacetan berkurang dan jumlah
pengunjung tetap atau bahkan bertambah ke Kawasan tersebut, tentunya pebisnis tidak akan
berkeberatan.
Skema jalan berbayar cenderung merugikan pengendara kendaraan dengan tingkat
pendapatan rendah terkecuali disiapkan kompensasi berupa transportasi publik yang jauh lebih
baik.
Upaya mengakali skema jalan berbayar dapat terjadi atau bahkan tindakan kriminal seperti
pencurian alat pembayar elektronik yang tersedia di dalam kendaraan (Selmoune, 2020).
17
BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
Meskipun pengenalan jalan berbayar telah dipertimbangkan dan diperdebatkan berkali-
kali, penerimaan publik telah terbukti menjadi hambatan yang paling signifikan dalam
pelaksanaannya. Penetapan jalan berbayar, secara teori, memiliki dua tantangan utama yaitu
penerimaan politik dan penerimaan publik. Hal ini bertolak belakang dengan pemahaman
pemerintah dan masyarakat sendiri yang menganggap kendala utamanya adalah administratif dan
teknologi, Banyak negara demokratis merasa sulit untuk menerapkan program karena kurangnya
dukungan politik dan publik yang kuat.
Namun demikian, penerimaan secara politis banyak bergantung pada pada penerimaan
masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan politikus bergantung pada suara pilihan
masyarakat.
Faktor paling berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap skema jalan berbayar
adalah (i) keadilan, memperhatikan kepentingan beragam pemangku kepentingan khususnya
pengendara disabilitas, pengendari berpendapatan rendah, penduduk pada Kawasan jalan
berbayar; (ii) kerumitan, skema jalan berbayar sebaiknya sederhana setidaknya pada tahap awal;
(iii) ketidakpastiant, keterbukaan informasi dan pemahaman yang memadai mengurangi
ketidakpastian; (iv) kerahasiaan/privasi, perlindungan terhadap data pribadi suatu keniscayaan.
Skema tarif kemacetan atau jalan berbayar tidak selamanya dapat menyelesaikan masalah
kemacetan lalu lintas dan pemanfaatan ruang. Skema ini hanya bisa berperan penting dalam
meningkatkan efisiensi transportasi jika dirancang dalam perencanaan transportasi yang terpadu.
Sehingga diperlukan langkah untuk melengkapi dan memperkuat skema pembebanan kemacetan,
seperti investasi dana publik dalam infrastruktur angkutan umum. Misalnya, di China, pemerintah
telah melakukan investasi yang signifikan pada jalur bus dan metro, yang akan sangat membantu
dalam mengurangi jumlah mobil pribadi yang menggunakan ruang jalan dan meningkatnya
penerimaan publik atas skema penetapan harga kemacetan. Kota London melengkapi skema jalan
berbayar dengan 33 tindakan pelengkap untuk meningkatkan kualitas layanan transit.
18
4.2 Rekomendasi
Penerimaan masyarakat khususnya pengguna kendaraan bermotor terhadap skema tarif
kemacetan atau jalan berbayar menjadi prioritas utama. Untuk itu, langkah strategis dalam
meningkatkan peluang penerimaan masyarakat dilakukan melalui
a. edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya secara intensif melalui berbagai
saluran baik media sosial, media cetak, televisi maupun melalui forum pemangku
kepentingan.
b. pemanfaatan media massa sebagai corong informasi untuk menunjukkan keterbukaan
pemerintah terutama terkait pemanfatan pendapatan dari skema jalan berbayar.
c. Skema jalan berbayar perlu dibuat sederhana. Pengalaman menunjukkan semakin rumit
rencana skema jalan berbayar, semakin mudah ditolak oleh masyarakat.
d. Menerapkan uji coba untuk memberi pengalaman langsung bagi masyarakat sekaligus
untuk menunjukkan dampaknya. Motto ‘seeing is believing’ menjadi acuan, yaitu
masyarakat percaya jika telah merasakan langsung. Selain itu, langkah uji coba juga
menjadi ajang evaluasi terhadap skema awal sekaligus membiasakan masyarakat.
Perlindungan terhadap privasi pengguna kendaraan terkait pemanfaatan teknologi digital
dalam ERP baik melalui regulasi maupun teknologi menjadi suatu keniscayaan untuk
meningkatkan penerimaan masyarakat
Dibutuhkan mekanisme kompensasi dan kemudahan untuk kelompok yang kurang
beruntung dan terdampak langsung seperti pengendara disabilitas, penghuni dan pebisnis kawasan
jalan berbayar.
Skema tarif kemacetan atau jalan berbayar tidak akan efektif tanpa didukung oleh
kebijakan dan strategi transportasi terpadu. Untuk itu, dibutuhkan semacam peta jalan dan rencana
aksi yang disusun secara kolaboratif melibatkan beragam pemangku kepentingan. Peta jalan ini
menjadi upaya memadukan skema jalan berbayar ke dalam kebijakan dan strategi transportasi
yang sudah ada. Kolaborasi berbagai pemangku kepentingan juga untuk memastikan
meningkatnya penerimaan masyarakat.
Beragam bentuk kebijakan dan strategi yang mendukung skema jalan berbayar perlu
dimasukkan dalam peta jalan seperti peningkatan kuantitas dan kualitas transportasi publik sebagai
langkah awal sebelum skema dijalankan dan setelah skema dijalankan melalui pemanfaatan
19
pendapatan dari penerapan skema, penerapan diskon bagi penumpang umum, penyediaan park-
and-ride, pembenahan jalur pesepeda dan pejalan kaki, dan lainnya.
Dibutuhkan penelitian atau simulasi terhadap dampak penerapan skema jalan berbayar baik
dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hasil penelitian ini harus jelas, bahkan
kuantitatif jika memungkinkan, dan tentu saja mudah dipahjami masyarakat. Selain itu, sekaligus
juga dapat menjadi materi edukasi masyarakat. Untuk itu, perlu disiapkan materi khusus edukasi
masyarakat. Hasil penelitian ini juga sekaligus dapat menjadi masukan bagi penyiapan uji coba
skema jalan berbayar.
Tata kelola kolaboratif perlu menjadi perhatian. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat
secara intensif perlu dikelola sepenuh hati. Keterlibatan masyarakat bukan basa basi tetapi sejak
awal sampai akhir proses perencanaan termasuk dilanjutkan pada tahap pembangunan dan
pelaksanaan dengan menyiapkan skema pemantauan dan evaluasi yang jelas dan interaktif.
Keterlibatan ini dapat diwadahi melalui pembentukan forum jalan berbayar yang beranggotakan
para pemangku kepentingan terkait baik lansgung maupun tidak langsung. Dengan demikian,
penerimaan masyarakat menjadi lebih terjamin.
20
Daftar Rujukan
Christiarini, Dessy (2011). Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk
Mengurangi Polusi Lingkungan. Kasus Jalan Sudirman Jakarta. Skripsi. Bogor, Institut Pertanian
Bogor.
CNN Indonesia (2023). Daftar Kota Termacet di Dunia, Peringkat Jakarta Memburuk.
Diakses tanggal 25 Maret 2023 melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20230217100324-269-914292/daftar-kota-termacet-di-dunia-peringkat-jakarta-memburuk
Croci, E. (2016). Urban road pricing: a comparative study on the experiences of London,
Stockholm and Milan,” Transportation Research Procedia, vol. 14, pp. 253–262.
Gunawan, Tony (2014). Analisis Electronic Road Pricing (ERP) Singapura dari Segi
Pengguna. Laporan Kerja Praktik. Yogyakarta, Fakultas Sanis dan Teknologi UII Sunan Kalijaga.
Hensher, D. A. dan Li, Z. (12013). Referendum voting in road pricing reform: a review of
the evidence,” Transport Policy, vol. 25, pp. 186–197.
Larson, R. C. dan Sasanuma, K. (2010). “Urban vehicle congestion pricing: a review,”
Journal of Industrial and Systems Engineering, vol. 3, no. 4, pp. 227–242.
Pedersen, P. (2003). Moral hazard in traffic games, Journal of Transport Economics and
Policy (JTEP), vol. 37, no. 1, pp. 47–68.
Percoco, M. (2013). Is road pricing effective in abating pollution? evidence from Milan,
Transportation Research Part D: Transport and Environment, vol. 25, pp. 112–118.
Percoco, M. (2014). Thee effect of road pricing on traffic composition: evidence from a
natural experiment in Milan, Italy,” Transport Policy, vol. 31, pp. 55–60.
Phang, S. Y. dan Toh, R. (2004). Road congestion pricing in Singapore: 1975 to 2003,
Journal of Transportation, vol. 43, no. 2, pp. 16–25.
Rotaris, L. dkk. (2010). The urban road pricing scheme to curb pollution in Milan, Italy:
description, impacts and preliminary cost-benefit analysis assessment,” Transportation Research
Part A: Policy and Practice, vol. 44, no. 5, pp. 359–375.
Santos, G. (2004). Urban congestion charging, Transportation Economics, vol. 38, pp. 345–
369.
Schuitema, G, Steg, L. dan Forward, S. (2010). Explaining differences in acceptability
before and acceptance after the implementation of a congestion charge in Stockholm,
Transportation Research Part A: Policy and Practice, vol. 44, no. 2, pp. 99–109.
Selmoune, Aya dkk., (2020). Influencing Factors in Congestion Pricing Acceptability: A
Literatur Review. Hindawi Journal of Advanced Transportation Volume 2020, diakses melalui
https://doi.org/10.1155/2020/4242964 tanggal 25 Maret 2023.
21
Selmoune, Aya; Zhiyuan Liu dan Jinwoo Lee (2022). To Pay or Not To Pay? Understanding
Public Acceptance of Congestion Pricing: A Case Study of Nanjing. Electronic Reserve Archive
Volume 30 Issu 11. Diakses pada tanggal 25 Maret 2023 melalui https://www.researchgate.net/
publication/363717459_To_pay_or_not_to_pay_Understanding_public_acceptance_of_congesti
on_pricing_A_case_study_of_Nanjing
Stefanus dan Najid (2020). Pengaruh Electronic Road Pricing terhadap Volume Lalu Lintas
pada Ruas Jalan Gatot Subroto. Jurnal Mitra Teknik Sipil Vol. 3 No. 2 Mei.
Sunitiyoso, Yos (2020). Road Pricing in Indonesia: How Will Public Respond?.
ScienceDirect. Transportation Research Procedia 47. Diakses tanggal 25 Maret 2023 melalui
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/
Weinstein, A. dan Sciara, G. C. (2006). Unraveling equity in HOT lane planning,” Journal
of Planning Education and Research, vol. 26, no. 2, pp. 174–184.

More Related Content

Similar to Belajar dari Kota Lain untuk Jalan Berbayar di Jakarta

Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfPenerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfoswarmungkasa1
 
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishub
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishubEkspose masterplan transportasi tangsel dishub
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishubdwianto23
 
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)Makalah mass rapid_transit_mrt (1)
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)johan effendi
 
Group 1 - MRT Jakarta.pptx
Group 1 - MRT Jakarta.pptxGroup 1 - MRT Jakarta.pptx
Group 1 - MRT Jakarta.pptxDavidHeka
 
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...Leo Ikals
 
presepsi masyarakat pengguna ojek online
presepsi masyarakat pengguna ojek onlinepresepsi masyarakat pengguna ojek online
presepsi masyarakat pengguna ojek onlinefuad nst
 
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyo
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyoPerbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyo
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyoPatta Danun
 
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaYoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaAkhmad Guntar
 
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaYoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaAkhmad Guntar
 
Kemacetan vs otomotif
Kemacetan vs otomotifKemacetan vs otomotif
Kemacetan vs otomotifaswin2812
 
Transportasi dki jakarta.
Transportasi dki jakarta.Transportasi dki jakarta.
Transportasi dki jakarta.Astri Ratnasari
 
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEA
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEABab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEA
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEASonny Sakarsono, PhD, DEA
 
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdfKamalia35
 
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 19977 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997Adam Izu Muzaki
 

Similar to Belajar dari Kota Lain untuk Jalan Berbayar di Jakarta (20)

Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfPenerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
 
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishub
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishubEkspose masterplan transportasi tangsel dishub
Ekspose masterplan transportasi tangsel dishub
 
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)Makalah mass rapid_transit_mrt (1)
Makalah mass rapid_transit_mrt (1)
 
Group 1 - MRT Jakarta.pptx
Group 1 - MRT Jakarta.pptxGroup 1 - MRT Jakarta.pptx
Group 1 - MRT Jakarta.pptx
 
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...
Jurnal penentuan strategi transportation demand management (tdm) berbasis imp...
 
Jurnal Ilmiah
Jurnal IlmiahJurnal Ilmiah
Jurnal Ilmiah
 
Aries setijadji
Aries setijadjiAries setijadji
Aries setijadji
 
Projek Akhir
Projek AkhirProjek Akhir
Projek Akhir
 
presepsi masyarakat pengguna ojek online
presepsi masyarakat pengguna ojek onlinepresepsi masyarakat pengguna ojek online
presepsi masyarakat pengguna ojek online
 
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyo
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyoPerbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyo
Perbedaan peraturan dalam mengatasi masalah kemacetan jakarta dengan tokyo
 
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaYoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
 
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kotaYoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
Yoga Adiwinarto on Peran BRT dalam penataan kota
 
Kemacetan vs otomotif
Kemacetan vs otomotifKemacetan vs otomotif
Kemacetan vs otomotif
 
Transportasi dki jakarta.
Transportasi dki jakarta.Transportasi dki jakarta.
Transportasi dki jakarta.
 
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEA
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEABab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEA
Bab 1. Masalah Kebijakan Transportasi - 2014 by Waluyo Sakarsono, PhD DEA
 
adi
adiadi
adi
 
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf
349-Article Text-691-1-10-20140613.pdf
 
MKJI 2007
MKJI 2007MKJI 2007
MKJI 2007
 
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 19977 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997
7 manual kapasitas-jalan-indonesia mkji 1997
 
Mkji1997 2
Mkji1997 2Mkji1997 2
Mkji1997 2
 

More from oswarmungkasa1

Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...oswarmungkasa1
 
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...oswarmungkasa1
 
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategis
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda StrategisMewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategis
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategisoswarmungkasa1
 
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...oswarmungkasa1
 
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...oswarmungkasa1
 
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...oswarmungkasa1
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...oswarmungkasa1
 
Sekilas Tata Kelola Kolaboratif
Sekilas Tata Kelola KolaboratifSekilas Tata Kelola Kolaboratif
Sekilas Tata Kelola Kolaboratifoswarmungkasa1
 
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola KolaboratifTata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratifoswarmungkasa1
 
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaran
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan PembelajaranPengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaran
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaranoswarmungkasa1
 
Rencana Aksi Kolaboratif
Rencana Aksi KolaboratifRencana Aksi Kolaboratif
Rencana Aksi Kolaboratifoswarmungkasa1
 
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...oswarmungkasa1
 
Jakarta Towards a Resilient City
Jakarta Towards a Resilient CityJakarta Towards a Resilient City
Jakarta Towards a Resilient Cityoswarmungkasa1
 
Collaboration towards A Resilient Jakarta
Collaboration towards A Resilient JakartaCollaboration towards A Resilient Jakarta
Collaboration towards A Resilient Jakartaoswarmungkasa1
 
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakarta
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus JakartaGreen Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakarta
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakartaoswarmungkasa1
 
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan PenerapanKode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapanoswarmungkasa1
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan PublikTata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publikoswarmungkasa1
 

More from oswarmungkasa1 (20)

Perencanaan Skenario
Perencanaan SkenarioPerencanaan Skenario
Perencanaan Skenario
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
 
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...
Tanggapan Rancangan Undang Undang tentang Perubahan Undang Undang Nomor 29 Ta...
 
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategis
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda StrategisMewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategis
Mewujudkan Jakarta Kota Global Tantangan dan AGenda Strategis
 
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
Momentum Pasca Sesi 7 Global Platform Disaster Risk Reduction 2022 Pesan Pent...
 
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...
Mewujudkan Kota Sehat. Pembelajaran Mancanegara bagi Penyempurnaan Kota Sehat...
 
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...
Perencanaan Skenario (Scenario Planning). Konsep Dasar, Pembelajaran, dan Age...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
 
Sekilas Tata Kelola Kolaboratif
Sekilas Tata Kelola KolaboratifSekilas Tata Kelola Kolaboratif
Sekilas Tata Kelola Kolaboratif
 
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola KolaboratifTata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
 
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaran
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan PembelajaranPengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaran
Pengembangan Berorientasi Transit Berkeadilan. Konsep Dasar dan Pembelajaran
 
Rencana Aksi Kolaboratif
Rencana Aksi KolaboratifRencana Aksi Kolaboratif
Rencana Aksi Kolaboratif
 
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...
Kode Etik Perencana Kota dan Wilayah. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan Ma...
 
Jakarta Towards a Resilient City
Jakarta Towards a Resilient CityJakarta Towards a Resilient City
Jakarta Towards a Resilient City
 
Collaboration towards A Resilient Jakarta
Collaboration towards A Resilient JakartaCollaboration towards A Resilient Jakarta
Collaboration towards A Resilient Jakarta
 
Filosofi Pembangunan
Filosofi PembangunanFilosofi Pembangunan
Filosofi Pembangunan
 
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakarta
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus JakartaGreen Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakarta
Green Infrastructure di Perkotaan. Studi Kasus Jakarta
 
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan PenerapanKode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan PublikTata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik
 
Filosofi Pembangunan
Filosofi PembangunanFilosofi Pembangunan
Filosofi Pembangunan
 

Recently uploaded

INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfNetraHartana
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024DEDI45443
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfNezaPurna
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxwansyahrahman77
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxAmandaJesica
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAnthonyThony5
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...mayfanalf
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1RomaDoni5
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...citraislamiah02
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorDi Prihantony
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxBudyHermawan3
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptMuhammadNorman9
 

Recently uploaded (12)

INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdfINDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
INDIKATOR DAN SUB INDIKATOR MCP PELAYANAN PUBLIK.pdf
 
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
Sosialisasi OSS RBA dan SIINAs Tahun 2024
 
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdfRUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
RUNDOWN ACARA ORIENTASI CPNS DAN PPPK TAHUN 2024.pdf
 
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptxSOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
SOSIALISASI RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN DI KOTA MAKASSAR.pptx
 
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptxemka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
 
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah PemerintahAdministrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
Administrasi_pengelolaan_hibah Pemerintah
 
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
 
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
 
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
Aksi Nyata KKTP.pdAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata KKTP.pdf.pptxAksi Nyata ...
 
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administratorevaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
evaluasi essay agenda 3 pelatihan kepemimpinan administrator
 
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptxMateri Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
Materi Membangun Budaya Ber-Integritas Antikorupsi bagi ASN .pptx
 
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.pptmata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
mata pelajaran geografi ANTROPOSFER 2.ppt
 

Belajar dari Kota Lain untuk Jalan Berbayar di Jakarta

  • 1. Mewujudkan Jalan Berbayar (Electronic Road Pricing) di Jakarta. Belajar dari Pengalaman Kota Mancanegara Oswar Mungkasa April 2023
  • 2. ii You can't understand a city without using its public transportation system. Erol Ozan
  • 3. iii Sapa dari penulis Terima kasih sudah mengunduh, menyimpan, membaca, mendistribusikan bahkan turut menyampaikan langsung isi makalah panjang ini. Semoga bermanfaat dan memberi pencerahan bagi kita semua demi almamater,bangsa dannegara Sedikit tentang Penulis Lahir lebih dari 59 tahun yang lalu di Makassar berlatar belakang pendidikan perencanaan kota dan wilayah (S1, ITB dan S2, GSPIA University of Pittsburgh USA) dan ekonomi publik (S3, UI). bekerja sepanjang hampir 40 tahun dimulai sejak mahasiswa sebagai konsultan berbagai perusahaan konsultan perencanaan kota dan wilayah, dilanjutkan sebentar sebagai peneliti pada pusat penelitian, selanjutnya menjadi pegawai sampai kepala cabang pembantu bank swasta nasional, akhirnya memilih menjadi PNS dengan karir awal pada lembaga perencanaan pembangunan nasional dan sempat menjabat sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan (Bappenas), berpindah sebentar ke kementerian teknis sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran (Kementerian Perumahan Rakyat), dan sempat meniti karir pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Saat ini penulis menjadi fungsional perencana utama (PAU) Kementerian PPN/Bappenas. Selain juga menjadi pengurus beberapa organisasi kemasyarakatan yaitu Housing and Urban Development Institute (HUD Institute), Dana Mitra Lingkungan (DML), Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Jejaring AMPL), Hands for Help Portofolio penulis dapat dilihat pada https://www.academia.edu/oswarmungkasa https://www.researchgate.net/profile/Oswar-Mungkasa email : oswar.mungkasa63@gmail.com
  • 4. i DAFTAR ISI halaman Daftar Isi ………………………………………………………………………………... i Daftar Tabel ……………………………………………………………………………. ii Daftar Gambar …………………………………………………………………………. ii Daftar Singkatan ……………………………………………………………………….. iii BAB I Latar Belakang ……..……………………………………………..……….... 1 BAB II Konsep Jalan Berbayar (Elektronik)/Electronic Road Pricing ..………….. 4 2.1 Pemahaman Dasar ……………………………………………………….. 4 2.2 Manfaat dan Dampak ……………………………………………………. 4 2.3 Pengelolaan Permintaan Perjalanan (Travel Demand Management/TDM) 6 BAB III Ragam Pembelajaran Penerapan Jalan Berbayar Kota Mancanegara .… 8 3.1 Pembelajaran Kota Mancanegara ……………………………….. 8 3.1.1 London (Inggris) ….……………………………………………... 8 3.1.2 Stockholm (Swedia) …………………………………………….. 9 3.1.3 Singapura ………………………………………………………... 10 3.1.4 Milan (Italia) …………………………………………………….. 11 3.1.5 Edinburgh (Skotlandia) ………………………………………….. 12 3.1.6 New York (AS) ………………………………………………….. 12 3.1.7 Hong Kong ………………………………………………………. 12 3.2 Faktor Berpengaruh Nyata terhadap Penerimaan Masyarakat …………… 13 3.2.1 Penyalahgunaan Data Pribadi ……………………………………. 13 3.2.2 Keadilan ………………………………………………………….. 13 3.2.3 Meningkatnya Risiko/Ketidakpastian ……………………………. 13 3.2.4 Kesulitan Penerapan/Kerumitan …………………………………. 14 3.3 Faktor Berpengaruh Lain ………………………………………………… 15 3.4 Keterbatasan Skema Jalan Berbayar …………………………………….. 16 BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi ………………………………………………... 17 4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 17 4.2 Rekomendasi …………………………………………………………….. 18 Daftar Rujukan …………………………………………………………………………… 20
  • 5. ii Daftar Tabel halaman Tabel 1 Kategori Jalan Berbayar ..…………………………….…………………..…. 7 Tabel 2 Dampak Penerapan ERP Singapura ………………………………………… 10 Daftar Gambar halaman Gambar 1 Manfaat Penyelenggaraan Jalan Berbayar (ERP) ……..……………….…… 6
  • 6. iii Daftar Singkatan AS Amerika Serikat ALS Area Licensing Scheme BRT Bus Rapid Transit CP Congestion Pricing DKI Daerah Khusus Ibukota ERP Electronic Road Pricing ERPS Electronic Road Pricing System HOV High-occupancy Vehicle Jabodetabek Jakarta Bogor Tangerang Bekasi KRL Kereta Rel Listrik LRT Light Rail Transit MRT Mass Rapid Transit PM Particulate Matter
  • 7. 1 BAB I Latar Belakang Kemacetan lalu lintas telah menjadi masalah besar pada hampir seluruh kota dunia. Selain bertambah waktu perjalanan, penurunan efektivitas sistem transportasi, juga berdampak parah pada kondisi lingkungan yang dapat berujung pada menurunnya pertumbuhan ekonomi sehingga membatasi pembangunan berkelanjutan daerah. Jakarta sebagai kota Metropolitan terbesar kedua di dunia setelah Tokyo juga menghadapi permasalahan kemacetan yang juga mengkhawatirkan. Bahkan hasil penelitian TomTom Traffic Index menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Jakarta menempati peringkat ke-29 kota termacet dari 389 kota di dunia. Namun, untuk lingkup Asia Tenggara, Jakarta menempati posisi kedua. Dibandingkan hasil penelitian lembaga yang sama pada tahun 2021 dan 2022, terlihat kondisi kemacetan Jakarta saat ini memburuk. Pada tahun 2021, Jakarta menduduki posisi ke-46 dari 404 kota yang diukur dari 58 negara di 6 benua. Sementara tahun 2020, Jakarta menempati urutan ke-31 (CNN Indonesia, 2023). Tentu saja, Pemerintah DKI Jakarta tidak tinggal diam menghadapi masalah ini. Beragam upaya telah dilakukan seperti a. Three-in-one, berupa pembatasan jumlah minimal penumpang sebanyak 3 orang pada ruas jalan utama tertentu pada jam sibuk. Namun, kebijakan tersebut telah dibatalkan pada tahun 2016 karena dipandang sudah tidak efektif lagi. Hal ini dikarenakan beberapa kelemahan antara lain: (i) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan lokal atau biasa disebut ”jalan tikus” untuk menghindari kawasan three-in-one, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (ii) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi tiga, dan (iii) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik (Christiarini, 2011). Penelitian terbaru menunjukkan pembatalan kebijakan three-in-one ternyata memperburuk kondisi lalu lintas dengan meningkatnya meningkat waktu tunda secara
  • 8. 2 signifikan khususnya pada kawasan three-in-one terutama selama jam sibuk (Hanna, Kreindler, dan Olken, 2017 dalam Sunitiyoso dkk., 2020). b. Ganjil-Genap (GaGe), berupa pembatasan akses mobil pribadi pada ruas jalan utama tertentu berdasar kriteria tanggal ganjil dan genap sejak tahun 2016. Pasca pemberlakuan kebijakan plat nomor ganjil genap, 24% pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum, 23% beralih ke layanan tumpangan atau taksi, dan 53% tidak beralih moda transportasi dan masih menggunakan kendaraan pribadi (Kusumaputra, 2018 dalam Sunitiyoso dkk., 2020). c. Peningkatan layanan angkutan umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek, TransJakarta, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Bus Rapid Transit/Busway (BRT), dan Kereta Bandara, yang telah mulai terpadu. Namun, upaya ini ternyata masih belum cukup memadai terbukti dari kenyataan bahwa Jakarta masih termasuk kota ke-29 termacet di dunia. Dibutuhkan upaya tambahan melengkapi layanan transportasi yang telah ada. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak analis dan pembuat kebijakan memusatkan perhatian mereka pada masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya perkotaan yang semakin mengkhawatirkan. Salah satu jalan keluar yang dipandang paling mumpuni saat ini adalah skema jalan berbayar (road pricing) yaitu penerapan tarif kemacetan pada penggal jalan tertentu di kawasan padat perkotaan. Jalan berbayar telah dipromosikan secara luas oleh para perencana transportasi dan ekonomi karena efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan kualitas udara, dan meningkatkan pendapatan untuk sistem transportasi (Decorla- Souza dan Kane, 1992; Anas dan Lindsey, 2011; Wang dkk., 2013; Liu dkk., 2017 dalam Sunitiyoso dkk., 2020). Pemerintah DKI Jakarta pada beberapa tahun terakhir telah menjadikan skema jalan berbayar, yang dikenal sebagai Electronic Road Pricing (ERP), sebagai salah satu jalan keluar kemacetan Jakarta. Walaupun sepertinya tersendat-sendat tetapi beberapa waktu terakhir Pemerintah DKI Jakarta telah mengumumkan akan segera menerapkan skema jalan berbayar pada beberapa ruas jalan. Namun upaya ini bukannya tanpa tentangan dari berbagai kalangan mulai dari pakar transporttasi, praktisi, perencana kota bahkan juga masyarakat pengguna jalan. Beragam alasan yang dikemukakan seperti penerapan jalan berbayar seperti ERP tidak efektif jika tidak didukung oleh transportasi umum yang baik, penerapan ERP memberatkan masyarakat yang telah membayar
  • 9. 3 pajak. Walaupun banyak juga pihak yang mendukung dengan catatan sepanjang dapat mengurangi kemacetan secara nyata. Terlepas dari kontroversi pro dan kontra terhadap skema jalan berbayar (ERP), telaahan ini bermaksud menyajikan konsep dasar, pembelajaran kota mancanegara, untuk kemudian dilengkapi rekomendasi kebijakan penerapan skema jalan berbayar (ERP). Diharapkan hasil telaahan dapat menjadi salah satu rujukan pengambil keputusan dalam upaya penerapan skema jalan berbayar secara lebih baik dan optimal.
  • 10. 4 BAB II Konsep Jalan Berbayar Elektronik (Electronic Road Pricing) 2.1 Pemahaman Dasar Pada awalnya ERP dikenal sebagai konsep tarif kemacetan (congestion charging) yang pertama kali diperkenalkan oleh Pigou pada tahun 1920, namun banyak penelitian sejak itu telah dilakukan untuk mengembangkan dan menyempurnakannya. Dengan berkembangnya teknologi kemudian konsep ini berkembang seiring dengan pemanfaatan teknologi digital dalam penerapannya. Sehingga saat ini lebih dikenal sebagai Electronic Road Pricing (ERP), yaitu penerapan jalan berbayar berbasis elektronik. Keunggulannya, memudahkan proses pembayaran dan memungkinkan diterapkannya tarif yang berbeda-beda sesuai kondisi kemacetan lalu lintas. ERP dimaksudkan menurunkan tingkat kemacetan di ruas jalan tertentu. Sistem ini mampu secara otomatis berfungsi seperti gerbang tol tanpa harus menurunkan atau menghentikan kecepatan kendaraan yang akan melalui jalan dengan sistem ERP seperti yang terjadi di jalan tol. Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan pengguna kendaraan pribadi hingga minimal dan mengarahkan pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan memanfaatkan angkutan umum. (Christiarini, 2011). 2.2 Manfaat dan Dampak Penerapan ERP dapat meningkatkan arus lalu lintas yang mengakibatkan waktu tempuh lebih sedikit dan biaya perjalanan pun menjadi lebih murah. Sementara manfaat lainya diantaranya adalah a. meningkatnya kualitas lingkungan berupa berkurangnya polusi udara, dan polusi suara b. meningkatnya sumber penerimaan pemerimtah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kendaraan umum c. menjamin persamaan hak pengguna jalan, diantaramya berupa pemberian kewajiban lebih berat bagi pengendara jalan yang menyumbang terhadap kemacetan. Secara umum, manfaat jalan berbayar dapat dipandang dari 4 (empat) sisi yang saling berkaitan, yaitu (i) lalu lintas, (ii) transportasi, (iii) lingkungan; (iv) hukum. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar berikut.
  • 11. 5 Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, 2023. Gambar 1 Manfaat Penyelenggaraan Jalan Berbayar (ERP) Sementara menurut Christiarini (2020) beberapa dampak dari skema ERP adalah : a. Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan biaya perjalanan. b. Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management) dalam aspek lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan mengurangi polusi bunyi dan getaran. c. Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi fasilitas perkotaan sesuai dengan fungsinya. d. Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk meningkatkan kualitas angkutan umum. e. Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban yang lebih berat bagi pengguna jalan yang lebih berkontribusi terhadap kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki dan penghuni daerah lokal pun diharapkan dapat terealisasi.
  • 12. 6 2.3 Pengelolaan Permintaan Perjalanan (Travel Demand Management/TDM) Kemacetan di perkotaan sebenarnya berawal dari banyaknya bangkitan lalu lintas yaitu perjalanan yang terjadi akibat adanya kebutuhan pergerakan dari satu lokasi ke lokasi lain untuk tujuan tertentu. Sehingga upaya yang dilakukan diantaranya adalah mengurangi sebanyak mungkin perjalanan atau stidaknya dikelola agar tidak terjadi kemacetan. Salah satu pendekatan yang banyak dipergunakan dikenal sebagai pengelolaan permintaan perjalanan (travel demand management/TDM), yang dimaksudkan sebagai upaya mengurangi perjalanan terutama menggunakan kendaraan pribadi serta mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih sehat, lebih ramah lingkungan. Pendekatan ini dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori yaitu a. Instrumen ekonomi, mengedepankan insentif atau disinsentif dalam upaya mengurangi perjalanan. Salah satu bentuknya adalah jalan berbayar (road pricing) atau biaya kemacetan (congestion charging), yaitu pengenaan biaya langsung kepada pengguna jalan sebagai persyaratan melewati ruas jalan tertentu. Walaupun tujuan utama jalan berbayar adalah mengurangi kemacetan, namun setidaknya terdapat tujuan ikutan seperti mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan transportasi umum, bahkan juga menjadi sumber pendapatan bagi peningkatan kualitas layanan transportasi umum. Selengkapnya pada Tabel berikut. Tabel 1 Kategori Jalan Berbayar Skema Penjelasan Tujuan Jalan Tol (tarif tetap) Pengenaan biaya atas penggunaan jalan tertentu Untuk meningkatkan pendapatn dan investasi Biaya Kemacetan (congestion pricing) Pengenaan biaya yang jumlahnya disesuaikan berdasar tingkat kepadatan. Makin padat makin mahal. Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan Cordon fees Penggunaan biaya atas penggunaan jalan tertentu Mengurangi kemacetan di pusat kota HOV lanes Pengenaan biaya bagi kendaraan dengan daya muat kecil Mendorong peralihan ke kendaraan berkapasitas besar Biaya berdasar jarak (distance-based fees) Pengenaan biaya berdasar jarak tempuh Meningkatkan pendapatan dan mengurangi masalah lalu lintas Pay-as-you-drive insurance Pembayaran berdasar jarak sehingga jumlah asuransi tidak tetap Mengurangi masalah lalu lintas terutama kecelakaan lalu lintas Sumber: Diolah dari Susantono, 2010 dalam Christiarini, 2011.
  • 13. 7 b. Instrumen kerjasama (Cooporative Instrument), berupa keterlibatan perorangan, swasta atau institusi pemerintahdalam upaya mengurangi kemacetan seperti carpooling (bus jemputan pegawai). c. Instrumen Aturan (Regulatory Instrument), biasanya ditetapkan oleh pemerintah yang berisi standar, larangan dan prosedur mengurangi kendaraan pribadi seperti hari bebas kendaraan, three-in-one, ganjil-genap.
  • 14. 8 BAB III Ragam Pembelajaran Penerapan Jalan Berbayar Kota Mancanegara Pada dasarnya di dunia ini Electronic Road Pricing (ERP) lebih dikenal dalam nama generiknya yaitu Congestion Pricing (CP). Beberapa kota dunia telah menerapkan seperti London, Stockholm, Singapura, Edinburgh, New York, Hongkong dan Milan1 . Tentu saja tidak semua berhasil, namun kegagalan juga dapat menjadi pembelajaran. Sementara beberapa kota Indonesia selain Jakarta juga pernah berupaya menerapkan skema ini. 3.1 Pembelajaran Kota Mancanegara 3.1.1 London (Inggris) Perhatian terhadap skema biaya kemacetan/jalan berbayar (congestion pricing) telah berlangsung sejak tahun 1965 yang menegaskan bahwa skema ini dapat memperbaiki kualitas lalu lintas dan lingkungan bahkan menaikkan pendapatan. Setelah melalui penelitian awal selama tiga dekade, skema jalan berbayar akhirnya diterapkan pada tahun 2003. Tujuannya adalah mengurangi kemacetan, menugkatkan kehandalan waktu perjalanan dan mengurangi polusi udara (Christiarini, 2011). Hasilnya menunjukkan pengurangan kendaraan yang berpotensi dikenakan biaya dan ekspansi yang cukup besar pada kendaraan yang dikecualikan, dan maksimal 70% pengurangan kecelakaan pada zona biaya kemacetan. Meskipun skema ini relatif mahal, namun manfaat ekonomi positif. Pada tahun 2005/2006, skema ini menghasilkan pendapatan bersih sekitar £122 juta, dan £100 juta telah dihabiskan untuk meningkatkan layanan bus (Santos, 2009 dalam Selmoune, 2020). Christiarini (2011) menyampaikan bahwa skema jalan berbayar ini berdampak pada (i) penurunan volume lalu lintas 15%, (ii) penurunan kemacetan 30%, (iii) penurunan polusi 12% (NOx, PM10), (iv) perjalanan menjadi lebih dapat dihandalkan; (v) jadwal bus lebih tepat; (vi) tidak berdampak kemacetan di luar Kawasan ERP; (vii) menjadi sumber pendapatan untuk perbaikan layanan angkutan umum. 1 Hasil pembelajaran kota mancanegara sebagian besar dikutip dengan penyesuaian dari Selmoune (2020), kecuali dinyatakan lain.
  • 15. 9 Santos dan Fraser (2006) menambahkan bahwa kehandalan bus meningkat tidak hanya sebagai hasil dari berkurangnya kemacetan pada kawasan jalan berbayar tetapi juga sebagai akibat dari peningkatan investasi pada angkutan umum. Sejalan dengan itu, peningkatan kualitas angkutan umum merupakan faktor penting dalam peningkatan penerimaan publik. Hal ini sejalan hasil penelitian Small (1992), bahwa penerapan biaya kemacetan memberikan hasil yang efektif mengalihkan pengguna mobil ke angkutan umum, menciptakan penurunan jumlah kendaraan yang nyata dan memungkinkan waktu tempiuh kendaraan umum lebih singkat (Selmoune, 2020). Santos (2004) melaporkan bahwa saat awal sistem diperkenalkan, dukungan publik mencapai 49%, dan meningkat menjadi 70% setelah skema diberlakukan. Temuan ini konsisten dengan temuan dari studi terbaru, yang melaporkan hal yuang sama berlaku di Stockholm, (mis., B¨orjesson dkk. (2012) (Selmoune, 2020). 3.1.2 Stockholm (Swedia) Sebagaimana kota lainnya, perdebatan panjang dan akut mendahului sejak era 1970-an. Bahkan tiga partai politik besar menelurkan "Paket Dennis," untuk membangun jalan baru dan meningkatkan angkutan umum untuk mengurangi kemacetan dan pengendalian lalu lintas jalan, dan bukannya skema jalan berbayar (Pedersen, 2003). Namun, Paket Dennis dihentikan pada tahun 1997 karena kurangnya dukungan publik dan selanjutnya pada tahun 2006 dilangsungkan percobaan jalan berbayar yang tujuan utamanya adalah mengurangi volume lalu lintas, meningkatkan aksesibilitas, dan memperbaiki kualitas lingkungan. Setelahnya melalui referendum tahun 2006 dihasilkan 51,3% penduduk Stockholm mendukung skema jalan berbayar (Schuitema, Steg, dan Forward, 2010). Sebuah penelitian terkait dampak skema jalan berbayar di Stockholm oleh Hugosson dan Jonas (2006) menunjukkan aksesibilitas meningkat, waktu tempuh berkurang sebagai konsekuensi berkurangnya volume lalu lintas dan juga menyebabkan penurunan emisi partikel dan karbon dioksida sebesar 14% di dalam kota, dan bahkan penerimaan masyarakat meningkat setelah percobaan. Penelitian B¨orjesson dkk. (2012) menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi penerimaan publik adalah ternyata manfaatnya ternyata melampaui harapan. Penelitian Schade (2007) menunjukkan bahwa setelah pengguna yakin bahwa skema pasti dilaksanakan dan tak terhindarkan maka masyarakat menerimanya (Selmoune. 2020). Penelitian lain menunjukkan hasil positif seperti (i) meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-
  • 16. 10 50%, (ii) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2- 3% untuk total satu kota (Christiarini, 2011). 3.1.3 Singapura. Sebagai sebuah negara kota, Singapura berusaha seefisien mungkin mengelola pemanfaatan ruangnya. Sementara luasan pemanfaatan ruang untuk jalan raya telah menghabiskan 13% dari keseluruhan luas negara tersebut. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengurangi jumlah perjalanan menggunakan kendaraan bermotor agar penambahan ruang jalan dapat dihentikan (Ministry of Transport, 2014). Skema Perizinan Kawasan (area licensing scheme/ALS) diterapkan pada tahun 1975, yang merupakan zona terbatas di kawasan pusat bisnis. Phang (2004) menggambarkannya sebagai skema jalan berbayar pertama di dunia. Dengan pengecualian untuk kendaraan dengan 4 penumpang dan lebih, selain kenaikan parkir retribusi sebesar 100% dan penerapan skema park- and-ride (15.000 ruang parkir), keberhasilan skema ini hampir seketika karena lalu lintas turun 43% selama jam puncak (Santos, 2004). Selanjutnya skema ini digantikan menjadi Electronic Road Pricing (ERP) pada tahun 1998, yang pada awalnya disebut urban road user charging, dengan sistem lebih canggih dan adaptif; pengenaan biaya berdasar jenis kendaraan, lokasi pintu masuk, dan waktunya. Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri (Christiarini, 2011). Agarwal dan Koo (2016) menjelaskan bahwa pada Agustus 2013, pemerintah menambah 7 (tujuh) pintu masuk yang berdampak meningkatnya penumpang bus sebesar 12% sampai 20% selama jam puncak. Sementara Santos (2005) juga melaporkan bahwa meningkatkan transportasi publik adalah kunci sukses penetapan skema jalan berbayar (Selmoune, 2020). Sementara volume lalu lintas menuju Kawasan ERP menurun sampai 44% (Christiarini, 2011). Secara umum, berdasar data Kementerian Transportasi Singapura (2014), penerapan ERP berdampak positif dan negatif. Selengkapnya pada Tabel berikut Tabel 2 Dampak Penerapan ERP Singapura Dampak Positif Dampak Negatif Kemacetan berkurang nyata Perpindahan kemacetan pada jalan non ERP
  • 17. 11 Dampak Positif Dampak Negatif Penggunaan transportasi umum meningkat Pengeluaran pengguna jalan meningkat Waktu tempuh berkurang Pencurian komponen IU (alat pembayaran) Pendapatan negara meningkat Polusi udara berkurang Sumber: Kementerian Transportasi Singapura, 2014 dalam Gunawan, 2014. Efektivitas penerapan sistem ERP terukur melalui penurunan jumlah kendaraan di jalan yang ber ERP sebesar 43% pada tahun pertama, dan peningkatan penggunaan transportasi umum seperti bus dan monorel. Namun, berkurangnya jumlah kendaraan yang melewati jalan ERP perlu ditinjau secara menyeluruh. Kemungkinan besar yang terjadi adalah beralihnya kendaraan ke jalan non ERP. Sehingga yang terjadi secara keseluruhan jumlah kemacetan tidak berkurang tetapi hanya berpindah ke jalan alternatif (Gunawan, 2014) Kesuksesan penerapan ERP ini juga di dukung oleh kebijakan atau aturan pembatasan jumlah kendaraan yang telah di berlakukan sebelum penerapan ERP ini di Singapura. Jumlah kendaraan pribadi dibatasi (Gunawan, 2014). 3.1.4 Milan (Italia) Pada tahun 2008, skema "EcoPass" diperkenalkan di Milan, semua kendaraan memasuki pusat kota dari Senin hingga Jumat, 7.30 pagi hingga 19.30, harus membayar biaya polusi yang sesuai dan sebanding dengan emisi kendaraan mereka (Percoco, 2013 dan 2014). Skema ini bertujuan mengurangi polusi dan kemacetan; memang, setelah 11 bulan, lalu lintas menurun sebesar 12,3% dan NOx dan CO2 berkurang masing-masing sebesar 17% dan 14%, pada kawasan tersebut, sedangkan pengguna angkutan umum meningkat sebesar 9,2% (Rotaris dkk., 2010). Skema kemudian diganti dengan "Area C" dengan biaya harian tetap 5 euro. Kendaraan utilitas telah dibebaskan, dan kendaraan komersial mendapat diskon 2 euro (Gibson dan Carnovale, 2015). Dampak pada lalu lintas bahkan lebih besar berupa 30,1% pengurangan lalu lintas, 23,8% lebih sedikit kecelakaan di jalan raya, 12,5% lebih banyak pengguna angkutan umum dengan peningkatan kecepatan rata-rata angkutan umum sebesar 11,8%, dan akhirnya pengurangan 18% emisi PM10 setelah tahun pertama (Croci, 2016). Terdapat perubahan besar dari skema awalnya bertujuan untuk mengurangi polusi kemudian bergeser menjadi skema biaya kemacetan, dan uji coba menjadi faktor kunci.
  • 18. 12 3.1.5 Edinburgh (Skotlandia) Skema jalan berbayar gagal disepakati melalui referendum pada tahun 2005. Pembelajaran dari kegagalan ini adalah informasi yang kurang tersebar, termasuk media massa tidak menyampaikan ke publik terkait manfaat skema ini. Selain itu, dukungan politik juga kurang memadai (Selmoune, 2020) 3.1.6 New York Pada tahun 2007, Walikota New York, Bloomberg, mengumumkan PlaNYC, yang berisi lebih dari 120 kebijakan untuk membuat kota lebih berkelanjutan, termasuk skema jalan berbayar (Larson dan Sasanuma, 2010). Namun kemudian skema ini ditolak oleh parlemen karena penentangan publik dan wakil rakyat terpilih. Sejumlah penelitian seperti Odioso dan Smith (2008) membandingkan antara survei dilakukan di London, Stockholm, dan beberapa kota di AS termasuk New York City, untuk menganalisis faktor memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap tarif kemacetan dan menyimpulkan bahwa responden yang memercayai manfaat dari skema atau menggunakan moda transportasi yang berbeda cenderung menunjukkan dukungan. Kota-kota AS sebaiknya "menjual" manfaat lingkungan dan lalu lintas, meningkatkan layanan angkutan umum, dan memiliki rencana pendapatan yang jelas untuk meningkatkan penerimaan publik. Di sisi lain, Gu dkk., (2018) menemukan bahwa alasan utama penolakan ini adalah kurangnya uji coba penetapan jalan berbayar, dan solusi yang tidak memadai untuk masalah keadilan; oleh karena itu, penolakan datang terutama dari masyarakat dan wakil rakyat terpilih (Selmoune, 2020). 3.1.7 Hong Kong Pada tahun 1983, pemerintah Hong Kong mengumumkan pengenalan ERPS (Electronic Road Pricing System) untuk memecahkan masalah lalu lintas. Tahap percontohan ERPS dilaksanakan Juli 1983 sampai Maret 1985 di kawasan pusat bisnis menggunakan identifikasi kendaraan otomatis dan hasilnya mengurangi lalu lintas sebesar 11%. Namun, terlepas dari semua hasil positif dan alasan yang mendukung, skema ini ditangguhkan (Selmoune, 2020) Selmoune (2020) mencatat banyak penelitian dilakukan untuk membahas kegagalan ini, khususnya kurangnya keberanian politik (Dawson dan Catlin, 1986) dan masalah keadilan, pengecualian, keterbukaan, dan kepercayaan yang belum terpecahkan (Ison dan Rye, 2005), alasan “kondisi lalu lintas tidak terlihat cukup buruk” (Pretty, 1988) selain ekspansi yang cepat dan kuat dari MRT (Mass Rapid Transit) yang sangat membantu mengurangi kemacetan di daerah (Hau,
  • 19. 13 1990), dan bahkan argumen tentang privasi, yang merupakan faktor yang sangat kontroversial dalam kasus Hong Kong (Hugosson dan Jonas, 2006). 3.2 Faktor Berpengaruh Nyata terhadap Penerimaan Masyarakat Selmoune (2020) menyimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) faktor paling berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terkait skema jalan berbayar, yaitu keadilan, kerumitan, privasi, dan ketidakpastian. Faktor lainnya ditemui kurang berpengaruh seperti sistim tarif, dampak lalulintas, isu administrative, biaya investasi besar, perilaku pengguna, keberadaan kampiun, ketersediaan transportasi masal, penerimaan secara politik. 3.2.1 Penyalahgunaan Data Pribadi Pemanfaatan skema digital mempunyai risiko bahwa data pengguna tersebar kepada pihak yang tidak berkepentingan. Untuk itu, di Singapura, kartu ERP tidak menyimpan rincian data pribadi pengemudi dan kendaraan (Selmoune, 2020). 3.2.2 Keadilan Pengguna kendaraan dengan gangguan mobilitas dan pengemudi berpenghasilan rendah adalah yang paling terpengaruh beban perjalanan saat tarif kemacetan diperkenalkan, terutama karena keterbatasan pilihan moda perjalanan (Weinstein dan Sciara, 2006) Selain itu, penduduk yang bertempat tinggal pada kawasan jalan berbayar juga mempertanyakan kemungkinan beban keuangan yang harus ditanggung jika melakukan perjalanan keluar masuk Kawasan berkali-kali. Kota London menerapkan pengecualian bagi pengendara penyandang disabilitas, dan menerapkan iuran tahunan bagi penghuni kawasan tersebut. Sementara kota Milan sendiri selain mengecualikan pengendara disabilitas, juga memberi diskon bagi pengendara yang secara rutin setiap hari melalui kawan jalan berbayar tersebut. Penolakan kota New York didasari pertimbangan tidak tersedianya cukup kendaraan umum sehingga ketergantungan pada kendaraan pribadi menjadi suatu keniscayaan. Sementara kota Hong Kong membebaskan kendaraan publik seperti taksi yang kemudian dipandang tidak adil bagi pengendara yang tidak mampu menggunakan taksi sebagai alternatif (Selmoune, 2020). 3.2.3 Meningkatnya Risiko/Ketidakpastian Ketidakpastian adalah salah satu alasan utama yang memengaruhi pengenalan kebijakan baru, dan tarif kemacetan tidak terkecuali. Ingberman (1985) berpendapat bahwa alasan utama
  • 20. 14 ketidakpastian menyebabkan kurangnya dukungan ketika memperkenalkan skema tarif kemacetan. Sebagian masyarakat cenderung terus mempertahankan status quo ketika skema baru diperkenalkan tanpa uji coba. De Borger dan Proost (2012) mengidentifikasi dua jenis ketidakpastian: alokasi penerimaan/pendapatan dan efisiensi skema yang diusulkan (Selmoune, 2020) Pemerintah kota Hong Kong tidak memberi informasi memadai kepada masyarakat. Semakin sedikit informasi yang diterima semakin besar peluang penolakan. Kurangnya informasi meningkatkan ketidakpastian sehingga dibutuhkan upaya pemberian pemahaman pada masyarakat termasuk juga dengan melaksanakan uji coba. Keterbukaan terhadap penerimaan dari skema jalan berbayar perlu dipastikan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Kejelasan pemanfaatan dana jalan berbayar bagi kepentingan masyarakat khususnya fasilitas transportasi umum meningkatkan kepercayaan akan manfaat skema ini. Jakobsson dkk. (2000) serta Schade dan Baum (2006) juga menemukan bahwa pemahaman yang jelas dari pengguna jalan tentang tujuan kebijakan jalan berbayar akan memberikan sikap positif terhadap kebijakan tersebut. Studi-studi tersebut menyarankan bahwa masyarakat harus mendapat informasi yang baik mengenai implementasi ERP yang akan datang. Mekanisme ERP dan alokasi pendapatan harus diinformasikan secara menyeluruh dan transparan kepada publik (termasuk sumber pendanaan, besaran subsidi pemerintah, dan lainnya). Masyarakat yang menerima ERP memandang jalan berbayar sebagai satu-satunya kebijakan manajemen transportasi untuk mengendalikan permintaan lalu lintas (Sunitiyoso dkk., 2020). Informasi tersebut harus transparan atau tersedia untuk umum, sejalan dengan studi oleh Hensher dkk. (2013) dan Gu dkk. (2018) yang menemukan bahwa penerapan kebijakan jalan berbayar harus didukung dengan sosialisasi secara progresif mengenai dampak positif dari kebijakan tersebut dalam mengurangi penggunaan mobil pribadi dan meningkatkan penggunaan angkutan umum (Sunitiyoso dkk., 2020) 3.2.4 Kesulitan Penerapan/Kerumitan Kerumitan skema yang diterapkan menjadi kendala pelaksanaan skema jalan berbayar. Seperti kota Milan yang menerapkan skema EcoPass yang membedakan biaya berdasar jenis kendaraan, tipe bahan bakar, emisi karbon menyulitkan pengendara. Penerimaan masyarakat menjadi lebih besar ketika diterapkan skema yang lebih udah yaitu Area C dengan tarif flat bagi semua kendaraan (Henser dan Li, 2013).
  • 21. 15 Skema jalan berbayar sebaiknya dimulai dengan skema yang sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Sebagaimana contoh Singapura yang pada tahap awal menerapkan biaya flat sebelum menerapkan ERP yang sedikit lebih rumit dengan perbedaantarif berdasar jenis kendaraan, waktu dan lokasi. Namun hal ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang rumit karena pengendara sudah mulai terbiasa dengan skema dasar jalan berbayar (Phang dan Toh, 2004). 3.3 Faktor Berpengaruh Lain Selain faktor berpengaruh yang dominan seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, ditengarai berdasar pembelajaran beberapa kota dunia, ditemui juga beberapa faktor yang juga seringkali muncul, yaitu a. Upaya pengelabuan sistim pencatatan jalan berbayar dengan menciptakan alat palsu yang dijual di pasar gelap. b. Biaya awal yang relatif mahal dan mekanisme pemeliharaan perangkat jalan berbayar yang juga tidak mudah mengakibatkan beberapa kota tidak dapat membiayai sendiri skema ini. Kerjasama dengan pihak swasta terkadang dibutuhkan dan tentu saja membutuhkan waktu yang lebih lama. c. Sikap masyarakat berbeda tergantung pada kepentingan pribadi. Namun jika dikaitkan dengan manfaat selain berkurangnya kemacetan seperti polusi yang berkurang, kesehatan lingkungan membaik, pendapatan jalan berbayar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas transportasi publik, akan cenderung meningkatkan penerimaan masyarakat. d. Keberadaan kampiun yang berjuang memperkenalkan skema jalan berbayar dapat membantu penerimaan masyarakat. Selain itu, dukungan politik menjadi penting walaupun kemudian dipahami bahwa dukungan ini juga bergantung pada penerimaan masyarakat. Sehingga kampiun bergerak di tengah masyarakat terlebih dahulu untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan masyarakat sebelum melakukan lobby kepada politikus. e. Keberadaan transportasi publik dengan jumlah dan kualitas memadai dan terjangkau juga berperan dalam keberhasilan skema jalan berbayar. Pengendara berpindah menggunakan transportasi umum dengan pertimbangan lebih mudah, murah dan nyaman. f. Selain pemanfaatan transportasi publik, beberapa pilihan lain juga dilakukan oleh masyarakat seperti menggunakan skema carpooling (beramai-ramai menggunakan satu kendaraan), bersepeda, berjalan kaki, atau bahkan memanfaatkan beragam moda misal
  • 22. 16 berkendaraan kemudian parkir di lokasi park-and-ride lalu melanjutkan dengan transportasi publik. Disamping, juga mengurangi frekuensi perjalanan. g. Keinginan masyarakat yang terakomodasi dalam skema jalan berbayar juga meningkatkan penerimaan masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan masyarakat sendiri beragam tergantung karakteristik kependudukan (usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan dan lainnya), sehingga kebutuhan masing-masing pengguna perlu diakomodasi secara khusus dan bukan secara umum (Selmoune, 2020) 3.4 Keterbatasan Skema Jalan Berbayar Skema jalan berbayar biasanya diterapkan pada kawasan dengan bangkitan lalulintas tinggi seperti Kawasan pusat kota, perkantoran, perdagangan. Dengan demikian, skema jalan berbayar menjadi paradoksial ketika berhasil mengurangi jumlah kendaraan yang melewati kawasan tersebut sekaligus juga mengurangi jumlah pengunjung. Jika kemacetan berkurang dan jumlah pengunjung tetap atau bahkan bertambah ke Kawasan tersebut, tentunya pebisnis tidak akan berkeberatan. Skema jalan berbayar cenderung merugikan pengendara kendaraan dengan tingkat pendapatan rendah terkecuali disiapkan kompensasi berupa transportasi publik yang jauh lebih baik. Upaya mengakali skema jalan berbayar dapat terjadi atau bahkan tindakan kriminal seperti pencurian alat pembayar elektronik yang tersedia di dalam kendaraan (Selmoune, 2020).
  • 23. 17 BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi 4.1 Kesimpulan Meskipun pengenalan jalan berbayar telah dipertimbangkan dan diperdebatkan berkali- kali, penerimaan publik telah terbukti menjadi hambatan yang paling signifikan dalam pelaksanaannya. Penetapan jalan berbayar, secara teori, memiliki dua tantangan utama yaitu penerimaan politik dan penerimaan publik. Hal ini bertolak belakang dengan pemahaman pemerintah dan masyarakat sendiri yang menganggap kendala utamanya adalah administratif dan teknologi, Banyak negara demokratis merasa sulit untuk menerapkan program karena kurangnya dukungan politik dan publik yang kuat. Namun demikian, penerimaan secara politis banyak bergantung pada pada penerimaan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan politikus bergantung pada suara pilihan masyarakat. Faktor paling berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap skema jalan berbayar adalah (i) keadilan, memperhatikan kepentingan beragam pemangku kepentingan khususnya pengendara disabilitas, pengendari berpendapatan rendah, penduduk pada Kawasan jalan berbayar; (ii) kerumitan, skema jalan berbayar sebaiknya sederhana setidaknya pada tahap awal; (iii) ketidakpastiant, keterbukaan informasi dan pemahaman yang memadai mengurangi ketidakpastian; (iv) kerahasiaan/privasi, perlindungan terhadap data pribadi suatu keniscayaan. Skema tarif kemacetan atau jalan berbayar tidak selamanya dapat menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas dan pemanfaatan ruang. Skema ini hanya bisa berperan penting dalam meningkatkan efisiensi transportasi jika dirancang dalam perencanaan transportasi yang terpadu. Sehingga diperlukan langkah untuk melengkapi dan memperkuat skema pembebanan kemacetan, seperti investasi dana publik dalam infrastruktur angkutan umum. Misalnya, di China, pemerintah telah melakukan investasi yang signifikan pada jalur bus dan metro, yang akan sangat membantu dalam mengurangi jumlah mobil pribadi yang menggunakan ruang jalan dan meningkatnya penerimaan publik atas skema penetapan harga kemacetan. Kota London melengkapi skema jalan berbayar dengan 33 tindakan pelengkap untuk meningkatkan kualitas layanan transit.
  • 24. 18 4.2 Rekomendasi Penerimaan masyarakat khususnya pengguna kendaraan bermotor terhadap skema tarif kemacetan atau jalan berbayar menjadi prioritas utama. Untuk itu, langkah strategis dalam meningkatkan peluang penerimaan masyarakat dilakukan melalui a. edukasi masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya secara intensif melalui berbagai saluran baik media sosial, media cetak, televisi maupun melalui forum pemangku kepentingan. b. pemanfaatan media massa sebagai corong informasi untuk menunjukkan keterbukaan pemerintah terutama terkait pemanfatan pendapatan dari skema jalan berbayar. c. Skema jalan berbayar perlu dibuat sederhana. Pengalaman menunjukkan semakin rumit rencana skema jalan berbayar, semakin mudah ditolak oleh masyarakat. d. Menerapkan uji coba untuk memberi pengalaman langsung bagi masyarakat sekaligus untuk menunjukkan dampaknya. Motto ‘seeing is believing’ menjadi acuan, yaitu masyarakat percaya jika telah merasakan langsung. Selain itu, langkah uji coba juga menjadi ajang evaluasi terhadap skema awal sekaligus membiasakan masyarakat. Perlindungan terhadap privasi pengguna kendaraan terkait pemanfaatan teknologi digital dalam ERP baik melalui regulasi maupun teknologi menjadi suatu keniscayaan untuk meningkatkan penerimaan masyarakat Dibutuhkan mekanisme kompensasi dan kemudahan untuk kelompok yang kurang beruntung dan terdampak langsung seperti pengendara disabilitas, penghuni dan pebisnis kawasan jalan berbayar. Skema tarif kemacetan atau jalan berbayar tidak akan efektif tanpa didukung oleh kebijakan dan strategi transportasi terpadu. Untuk itu, dibutuhkan semacam peta jalan dan rencana aksi yang disusun secara kolaboratif melibatkan beragam pemangku kepentingan. Peta jalan ini menjadi upaya memadukan skema jalan berbayar ke dalam kebijakan dan strategi transportasi yang sudah ada. Kolaborasi berbagai pemangku kepentingan juga untuk memastikan meningkatnya penerimaan masyarakat. Beragam bentuk kebijakan dan strategi yang mendukung skema jalan berbayar perlu dimasukkan dalam peta jalan seperti peningkatan kuantitas dan kualitas transportasi publik sebagai langkah awal sebelum skema dijalankan dan setelah skema dijalankan melalui pemanfaatan
  • 25. 19 pendapatan dari penerapan skema, penerapan diskon bagi penumpang umum, penyediaan park- and-ride, pembenahan jalur pesepeda dan pejalan kaki, dan lainnya. Dibutuhkan penelitian atau simulasi terhadap dampak penerapan skema jalan berbayar baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hasil penelitian ini harus jelas, bahkan kuantitatif jika memungkinkan, dan tentu saja mudah dipahjami masyarakat. Selain itu, sekaligus juga dapat menjadi materi edukasi masyarakat. Untuk itu, perlu disiapkan materi khusus edukasi masyarakat. Hasil penelitian ini juga sekaligus dapat menjadi masukan bagi penyiapan uji coba skema jalan berbayar. Tata kelola kolaboratif perlu menjadi perhatian. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat secara intensif perlu dikelola sepenuh hati. Keterlibatan masyarakat bukan basa basi tetapi sejak awal sampai akhir proses perencanaan termasuk dilanjutkan pada tahap pembangunan dan pelaksanaan dengan menyiapkan skema pemantauan dan evaluasi yang jelas dan interaktif. Keterlibatan ini dapat diwadahi melalui pembentukan forum jalan berbayar yang beranggotakan para pemangku kepentingan terkait baik lansgung maupun tidak langsung. Dengan demikian, penerimaan masyarakat menjadi lebih terjamin.
  • 26. 20 Daftar Rujukan Christiarini, Dessy (2011). Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan. Kasus Jalan Sudirman Jakarta. Skripsi. Bogor, Institut Pertanian Bogor. CNN Indonesia (2023). Daftar Kota Termacet di Dunia, Peringkat Jakarta Memburuk. Diakses tanggal 25 Maret 2023 melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya- hidup/20230217100324-269-914292/daftar-kota-termacet-di-dunia-peringkat-jakarta-memburuk Croci, E. (2016). Urban road pricing: a comparative study on the experiences of London, Stockholm and Milan,” Transportation Research Procedia, vol. 14, pp. 253–262. Gunawan, Tony (2014). Analisis Electronic Road Pricing (ERP) Singapura dari Segi Pengguna. Laporan Kerja Praktik. Yogyakarta, Fakultas Sanis dan Teknologi UII Sunan Kalijaga. Hensher, D. A. dan Li, Z. (12013). Referendum voting in road pricing reform: a review of the evidence,” Transport Policy, vol. 25, pp. 186–197. Larson, R. C. dan Sasanuma, K. (2010). “Urban vehicle congestion pricing: a review,” Journal of Industrial and Systems Engineering, vol. 3, no. 4, pp. 227–242. Pedersen, P. (2003). Moral hazard in traffic games, Journal of Transport Economics and Policy (JTEP), vol. 37, no. 1, pp. 47–68. Percoco, M. (2013). Is road pricing effective in abating pollution? evidence from Milan, Transportation Research Part D: Transport and Environment, vol. 25, pp. 112–118. Percoco, M. (2014). Thee effect of road pricing on traffic composition: evidence from a natural experiment in Milan, Italy,” Transport Policy, vol. 31, pp. 55–60. Phang, S. Y. dan Toh, R. (2004). Road congestion pricing in Singapore: 1975 to 2003, Journal of Transportation, vol. 43, no. 2, pp. 16–25. Rotaris, L. dkk. (2010). The urban road pricing scheme to curb pollution in Milan, Italy: description, impacts and preliminary cost-benefit analysis assessment,” Transportation Research Part A: Policy and Practice, vol. 44, no. 5, pp. 359–375. Santos, G. (2004). Urban congestion charging, Transportation Economics, vol. 38, pp. 345– 369. Schuitema, G, Steg, L. dan Forward, S. (2010). Explaining differences in acceptability before and acceptance after the implementation of a congestion charge in Stockholm, Transportation Research Part A: Policy and Practice, vol. 44, no. 2, pp. 99–109. Selmoune, Aya dkk., (2020). Influencing Factors in Congestion Pricing Acceptability: A Literatur Review. Hindawi Journal of Advanced Transportation Volume 2020, diakses melalui https://doi.org/10.1155/2020/4242964 tanggal 25 Maret 2023.
  • 27. 21 Selmoune, Aya; Zhiyuan Liu dan Jinwoo Lee (2022). To Pay or Not To Pay? Understanding Public Acceptance of Congestion Pricing: A Case Study of Nanjing. Electronic Reserve Archive Volume 30 Issu 11. Diakses pada tanggal 25 Maret 2023 melalui https://www.researchgate.net/ publication/363717459_To_pay_or_not_to_pay_Understanding_public_acceptance_of_congesti on_pricing_A_case_study_of_Nanjing Stefanus dan Najid (2020). Pengaruh Electronic Road Pricing terhadap Volume Lalu Lintas pada Ruas Jalan Gatot Subroto. Jurnal Mitra Teknik Sipil Vol. 3 No. 2 Mei. Sunitiyoso, Yos (2020). Road Pricing in Indonesia: How Will Public Respond?. ScienceDirect. Transportation Research Procedia 47. Diakses tanggal 25 Maret 2023 melalui http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/ Weinstein, A. dan Sciara, G. C. (2006). Unraveling equity in HOT lane planning,” Journal of Planning Education and Research, vol. 26, no. 2, pp. 174–184.