Abstrak.
Interferometer merupakan hal yang sangat penting dalam astronomi radio. Dengan panjang gelombang yang jauh lebih panjang dari panjang gelombang optik, membuat astronomi radio dituntut untuk menggunakan teleskop dengan aperture yang jauh lebih besar pula untuk mendapat resolusi spasial yang tinggi. Membangun teleskop radio dengan aperture yang sangat besar akan sulit dilakukan secara teknis. Sebagai alternatif, maka digunakan teknik interferometry. Oleh sebab itu, teknik ini juga perlu dikembangkan di Observatorium Bosscha.
Dalam Tugas Akhir ini, pekerjaan akan berfokus pada pengembangan teleskop radio dan interferometer JOVE dua elemen dan dilanjutkan dengan testing. Sistem teleskop radio ini bekerja pada frekuensi sekitar 20,1 MHz. Beberapa hasil testing pengamatan terhadap planet Jupiter, Matahari, dan testing interferomter juga akan disampaikan.
Key words : Teleskop Radio, Interferometer, JOVE.
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PENGEMBANGAN TELESKOP RADIO DAN INTERFEROMETER JOVE DUA ELEMEN DI OBSERVATORIUM BOSSCHA
1. PENGEMBANGAN TELESKOP RADIO DAN
INTERFEROMETER JOVE DUA ELEMEN
DI OBSERVATORIUM BOSSCHA
TUGAS AKHIR
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh:
ALFAN NASRULLOH
103 05 008
PROGRAM STUDI ASTRONOMI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
2. PENGEMBANGAN TELESKOP RADIO DAN
INTERFEROMTER JOVE DUA ELEMEN
DI OBSERVATORIUM BOSSCHA
Oleh:
Alfan Nasrulloh
NIM: 103 05 008
Program Studi Astronomi
Institut Teknologi Bandung
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Tanggal .....Maret 2011
Dr. Taufiq Hidayat
NIP.131875037
Tim Penguji:
1. Dr. Mahasena Putra
2. Dr. Dhani Herdiwijaya
3. Dr. Moedji Raharto
3. PEDOMAN PENGGUNAAN
TUGAS AKHIR
Tugas Akhir S1 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpus-
takaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan keten-
tuan bahwa hak cipta ada pada penulis dengan mengikuti aturan HaKI yang
berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan
dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pen-
garang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sum-
bernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tugas akhir harus
atas izin Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung.
4. ABSTRAK
Interferometer merupakan hal yang sangat penting dalam astronomi radio.
Dengan panjang gelombang yang jauh lebih panjang dari panjang gelombang
optik, membuat astronomi radio dituntut untuk menggunakan teleskop dengan
aperture yang jauh lebih besar pula untuk mendapat resolusi spasial yang ting-
gi. Membangun teleskop radio dengan aperture yang sangat besar akan sulit
dilakukan secara teknis. Sebagai alternatif, maka digunakan teknik interfero-
metry. Oleh sebab itu, teknik ini juga perlu dikembangkan di Observatorium
Bosscha.
Dalam Tugas Akhir ini, pekerjaan akan berfokus pada pengembangan tele-
skop radio dan interferometer JOVE dua elemen dan dilanjutkan dengan test-
ing. Sistem teleskop radio ini bekerja pada frekuensi sekitar 20,1 MHz. Be-
berapa hasil testing pengamatan terhadap planet Jupiter, Matahari, dan test-
ing interferomter juga akan disampaikan.
Key words: Teleskop Radio, Interferometer, JOVE.
5. ABSTRACT
Interferometer is one of great importance in radio astronomy. With wave-
lengths much longer than optics, makes radio astronomy also require to use
the telescope with a much larger aperture to get a high spatial resolution. Build
radio telescope with large apperture bring some technical problem. Interfero-
metry as the alternative can answer the problem. Therefore, This technique
also needs to be developed at the Bosscha Observatory.
In this final project, work will focus on developing JOVE radio telescope
and interferometer of two element proceed with testing. This radio telescope
system is working on frequency 20,1 MHz. Some testing results of observation
of the planet Jupiter, Sun, and testing interferomter also be submitted.
Key words: interferometer, Radio Telescope, JOVE.
6. ’Hey, If I don’t who else will’
–David Brodrick, 2004–
7. KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim...
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Seluruh
Alam. Yang menciptakan Matahari, Planet, Galaksi dan seluruh alam semesta
ini. Dengan Izin-Mu, kami mempelajari dan merenungi alam jagat raya yang
Engkau Ciptakan. Semoga semua ilmu yang dipelajari bisa memperkuat iman
dan menjadi ibadah yang Engkau Ridhai serta menjadi bekal amal yang akan
kami bawa pada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Hamba bersyukur
atas waktu, kesehatan, kesempatan, dan segala sesuatunya sehingga Tugas
Akhir ini bisa selesai. Semoga Tugas Akhir ini bisa memberi ilmu pengetahuan
yang bermanfaat bagi penulis dan manusia pada umumnya dalam menjalankan
tugas sebagai khalifah di muka bumi ini.
Sholawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Se-
moga Allah SWT Ridha pada keluarga dan sahabatnya yang tetap ta’at meng-
ikuti jejaknya. Aaamiiin
Terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua yang telah memberikan
kebebasan kepada penulis untuk memilih studi yang diinginkan dan mem-
berikan kesempatan kepada penulis untuk belajar bertanggungjawab terhadap
pilihan dan konsekuensi dari pilihan yang diambil. Terimakasih atas segalanya.
Dukungan dari kakek dan nenek juga sangat besar dirasakan oleh penulis, ter-
utama do’a yang tidak pernal lelah diucapkan. Terima kasih Ayah dan Ibuk
atas do’a-nya juga yang tidak pernah terhenti pada putra putinya yang sedang
berjuang menuntut ilmu. Terima kasih, semoga Allah SWT Menyayangi mere-
ka seperti mereka menyayangi penulis waktu kecil dengan kasih sayang yang
tiada tara.
Terima kasih kepada Dr. Taufiq Hidayat yang memberi kesempatan kepa-
da penulis untuk menuntut ilmu dari beliau. Terima kasih atas ’mainan’ baru
yang disediakan. Dukungan secara moral juga penulis rasakan sangat besar.
Terima kasih telah menerima penulis sebagai murid dengan suasana kekeluar-
gaan yang hangat.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Andrian B. Suksmono dan Pak Saroyo dari
LTRGM atau Lab Radar yang bersedia untuk ’bermain’ bersama. ’Mainan’
yang ada sangat mengasyikkan. Semoga kedepan ada ’mainan-mainan’ baru
v
8. lagi yang siap digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia.
Terima kasih kepada Pak Agus Stiawan, Pak Agus Subang, Pak Iwa, Mas
Irfan dan semua staf teknis Observatorium Bosscha atas smua bantuannya
mendirikan antena dan penataan jalur transmisi dalam pengembangan tele-
skop radio ini.
Terima kasih kepada Dr. Mahasena Putera, Dr. Dhani Herdiwijaya, dan
Dr. Moedji Raharto yang telah bersedia menjadi penguji. Terima kasih atas
segala masukan dan saran yang diberikan.
Terima kasih kepada Pak Irfan Hakim yang menjadi dosen wali dan juga
konsultan penulis saat awal-awal menginjakkan kaki di Bandung dan Prodi As-
tronomi. Terima kasih telah bersabar bersedia mendengar keluh kesah penulis
pada masa-masa kuliah.
Terima kasih kepada seluruh staff Dosen Astronomi yang memberikan ilmu
pengetahuan tentang alam semesta. Terima kasih juga kepada seluruh Dosen
ITB yang telah memberikan ilmu kepada penulis. Semoga semua ilmu yang
diberikan bermanfaat baik kepada penulis ataupun masyarakat umum seluruh-
nya. Semoga juga menjadi amal ibadah yang Diridhai yang pahalanya terus
mengalir sampai akhir zaman.
Terima kasih kepada seluruh karyawan Prodi Astronomi dan Observatori-
um Bosscha yang sangat membantu kelancaran belajar penulis.
Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2005, tetap semangat. Di-
manapun berada semoga tetap tabah dan sabar dalam perjuangan. 2006,
2007, 2008, dan 2009 juga tetap semangat.
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini jauh dari sempurna. Kritik dan
saran membangun Insyaallah akan penulis terima dengan lapang dada. Dalam
beberapa waktu, penulis bisa dihubungi lewat alfan.nasrulloh@gmail.com.
Semoga Tugas Akhir ini membawa manfaat bagi diri penulis maupun masya-
rakat pada umumnya. Semoga menjadi amal ibadah yang Diridhai oleh Allah
SWT. Aaamiin
Bandung, Maret 2011
Alfan Nasrulloh
vi
13. DAFTAR GAMBAR
II.1 Spektrum radiasi elektromagnetik. . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
II.2 Emisi synchrotron. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
II.3 Plot probabilitas semburan radio Jupiter . . . . . . . . . . . . . 8
II.4 Frekuensi emisi radio Jupiter. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
II.5 Spektrum semburan radio Jupiter. . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
II.6 Kemungkinan terjadinya semburan radio Jupiter . . . . . . . . . 10
II.7 Sistem koordinat Jupiter. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11
II.8 Io-Phase . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
II.9 Spektrum semburan radio Matahari . . . . . . . . . . . . . . . . 15
III.1 Diagram Sistem Teleskop Radio JOVE. . . . . . . . . . . . . . . 17
III.2 Plot frekuensi teleskop radio JOVE. . . . . . . . . . . . . . . . . 18
III.3 Antena radio JOVE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
III.4 Feedlines . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
III.5 Pendirian antena dan feedlines . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 20
III.6 Diagram block receiver JOVE. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
III.7 Screenshot posisi jupiter dan matahari dalam satu tahun . . . . 24
III.8 Screenshot posisi Jupiter dan Matahari relatif terhadap beam
antena . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
III.9 Screenshot prediksi semburan Jupiter. . . . . . . . . . . . . . . 25
III.11Sumber noise buatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
III.12Proses kalibrasi dengan menggunakan Callibration Wizard pa-
da Sky-Pipe II dimulai dengan melalui menu Tools kemudian
pilih Callibration Wizard (kiri). Setelah itu muncul dialog yang
menunjukkan pilihan sumber input yang digunakan (kanan). . . 27
III.13Setelah itu muncul dialog yang memberi petunjuk untuk mematikan
receiver (kiri). Setelah receiver dimatikan, klik OK. Sky-Pipe
II akan melakukan proses kalibrasi soundcard. Proses ini di-
lakukan untuk mengetahui dan menghilangkan derau soundcard
untuk tidak dimasukkan kedalam data (kanan). . . . . . . . . . 28
xi
14. III.14Proses selanjutnya yaitu mengetahui nilai loss kabel transmisi.
Untuk kabel RG-59 dan RG-6 sudah disertakan karakteristiknya,
sehingga kita tinggal memasukkan panjang kabel. Sedangkan
untuk kabel jenis lain, kita harus memasukkan nilai loss-nya
sendiri. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
III.15Selanjutnya perlu diatur volume masukan baik di receiver maupun
di komputer sehingga didapatkan ketinggian grafik yang menun-
jukkan angka sekitar 200-400 pada Sky-Pipe II (kiri). Setelah
tekan OK akan muncul jendela yang menyatakan sistem sedang
melakukan kalibrasi (kanan). Tunggu beberapa saat hingga kali-
brasi selesai. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
III.16Chart yang sudah terkalibrasi dan siap digunakan. . . . . . . . . 29
III.17Screenshot contoh data pengamatan dari NASA Radio JOVE . 30
IV.1 Pengamatan Jupiter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
IV.2 Antena Jove 1 (AJ-TB1)disebelah teleskop transit (kiri) dan
antena Jove 2 (AJ-TB2) di depan teleskop surya (kanan). . . . . 35
IV.3 Screenshot software yang digunakan saat pengamatan Jupiter . 36
IV.4 Pengamatan semburan radio Matahari saat flare kelas X2 tang-
gal 15 Februari 2011 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38
IV.5 Hasil pengamatan semburan radio Matahari 15 Februari 2011 . 39
IV.6 Spektrum radio dari Bruny Island Radio Spectrometer, Tasma-
nia, Australia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
IV.7 Profil audio saat terjadinya solar flare kelas X2 tanggal 15
Februari 2011 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40
IV.8 Profil fluks sinar X dari satelit GOES . . . . . . . . . . . . . . . 41
IV.9 Konfirmasi citra Matahari dari satelit SOHO saat terdeteksinya
semburan radio 15 Februari 2011 . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
IV.10Screenshot video coronagraph diambil menggunakan satelit STEREO
behind tanggal 15 Februari 2011 saat terjadinya flare . . . . . . 42
V.1 Diagram interferometer dua elemen . . . . . . . . . . . . . . . . 43
V.2 Pola radiasi antena . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44
V.3 Perbandingan pola beam atau power pattern antara interferome-
ter yang memiliki baseline 20 meter (kiri) dan 150 meter (kanan) 45
V.4 Hasil korelasi dari masing masing antena . . . . . . . . . . . . . 46
V.5 Data fringe yang didapat dari interferomter JOVE . . . . . . . . 46
xii
15. V.6 Perbedaan hasil fringe dari pengamatan dengan baseline yang
berbeda . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 47
V.7 Diagram sistem interferometer radio JOVE . . . . . . . . . . . . 48
V.8 Lokasi Antena Interferometer JOVE di Observatorium Bosscha
dan baseline . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
V.9 Diagram block sistem interferomter Jove . . . . . . . . . . . . . 50
V.10 Diagram block sistem interferomter JOVE. . . . . . . . . . . . . 51
V.11 Screenshot scope. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52
V.12 Fasa sejajar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54
V.13 Fasa quadrature . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
V.14 Berbagai perbedaan fasa dan bentuk grafik lissajous-nya . . . . 55
V.15 Kalibrasi menggunakan sumber radio astronomi Centaurus A . . 57
V.16 Perbedaan sinyal sefasa dan tidak sefasa receiver . . . . . . . . 58
V.17 Antena tersambung satu (kiri) dan antena tersambung semua
(kanan) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 58
V.18 Diagram lissajous untuk input audio yang sefasa. . . . . . . . . 59
VI.2 First light Interferometer, 6 November 2010 . . . . . . . . . . . 63
VI.3 Testing pengamatan 6 November 2010 sekaligus first fringe In-
terferometer . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
VI.4 Testing pengamatan tanggal 13 November 2010 . . . . . . . . . 65
VI.5 Testing pengamatan dini hari . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 66
VI.6 Testing pengamatan 14 november 2010 jam 01:00 - 03:00 WIB. . 66
VI.7 Pengukuran dan pemberian label masing-masing feedline (kiri)
dan penimbunan feedline di sekitar AJ-TB1 (kanan). . . . . . . 67
VI.8 Ruang radio saat pengamatan 28 Februari 2011. Tampak kabel
AJ-TB2 yang digulung di sebelah kanan meja. . . . . . . . . . . 68
VI.9 Screenshot hasil pengamatan interferometer selama sekitar 65
Jam mulai tanggal 28 Februari 2011 sampai 3 Maret 2011. . . . 69
VI.10Screenshot detail bagian data yang stabil dan membentuk garis
lurus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 70
xiii
16. Bab I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Teleskop Radio merupakan hal yang baru di Observatorium Bosscha ataupun
Indonesia secara umum yang salah satunya sedang dikembangkan yaitu Radio
JOVE. Dengan adanya teleskop radio JOVE ini, sesuai dengan tujuan awal
project NASA Radio JOVE, diharapkan membuat masyarakat dapat mengenal
astronomi melalui panjang gelombang radio. Dengan demikian masyarakat
tidak hanya mengetahui astronomi dari panjang gelombang optik saja tetapi
juga radio, bahkan bisa melakukan observasi menggunakan peralatan yang
sederhana dan murah.
Radio JOVE sendiri sebenarnya merupakan proyek edukasi dari NASA
yang bisa digunakan para pelajar, guru, serta masyarakat umum untuk mem-
pelajari astronomi radio dengan membangun teleskop radio sendiri dengan
harga yang terjangkau. Para peserta juga bisa ikut kolaborasi dengan berbagai
pengamat dari seluruh dunia dengan bertukar data pengamatan dan interaksi
lewat jaringan internet. Proyek ini dimulai tahun 1998, dan sejak saat itu
sudah ribuan tim dari pelajar dan masyarakat umum yang ikut berpartisipasi.
Observatorium Bosscha sudah mulai membangun teleskop radio JOVE se-
jak tahun 2008 bekerja sama dengan Laboratorium Teknik Telekomunikasi dan
Gelombang Mikro, STEI - ITB, dengan membuat sendiri dua receiver dengan
desain dari NASA radio JOVE. Selain dua receiver hasil pengembangan dari
STEI, Observatorium Bosscha juga membeli satu kit receiver asli dari NASA
JOVE Project sebagai pembanding untuk receiver yang lain.
Sedangkan tempat untuk antena, Observatorium Bosscha telah menyiap-
kan lima titik yang rencananya akan dibangun dan digabung menjadi sebuah
sistem interferometer. Dari lima titik tersebut, dua diantaranya sudah sele-
sai dibangun antena pengkabelannya dan sebuah antena lagi siap disambung
membentuk Timur-Barat. Dua antena yang akan digunakan sebagai interfer-
omter dalam pekerjaan tugas akhir ini adalah AJ-TB1 dan AJ-TB2. Singkatan
AJ adalah Antena Jove, TB adalah Timur-Barat, dan angka dibelakangnya
menyatakan nomer antena.
1
17. I.2 Rumusan Masalah
Pengerjaan Tugas Akhir ini merupakan bagian dari lanjutan pekerjaan yang
telah dilakukan oleh Observatorium Bosscha yang bekerja sama dengan La-
boratorium Telekomunikasi dan Gelombang Mikro, Sekolah Teknik Elektro
dan Informatika (STEI) ITB. Sehingga, ada beberapa yang sudah selesai di-
kerjakan dan beberapa yang perlu dilanjutkan.
Tugas Akhir ini lebih mengarah kepada instrumentasi dan testing penga-
matan, sehingga lebih bersifat praktis. Instrumen yang dibangun dan dikem-
bangkan berupa dua set teleskop radio JOVE. Masing-masing set instrumen
terdiri dari dua antena dipol yang dipasang secara sejajar membentuk array
dan sebuah receiver.
Pengembangan yang dilakukan tidak dimulai dari nol, tetapi sesuai de-
ngan manual dan petunjuk dari proyek Radio JOVE NASA dan petunjuk dari
pengembangan fringe simple interferometer, sebuah proyek pengembangan in-
terferometer radio JOVE di Narrabri, Australia. Tugas Akhir ini juga tidak
membahas semua hal secara detail tentang teknis elektronikanya, tetapi akan
dijabarkan secara garis besar saja.
I.3 Tujuan
Pengerjaan tugas akhir ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
• Membangun teleskop radio JOVE yang sudah dikembangkan oleh tim
proyek Radio JOVE NASA di Observatorium Bosscha
• Memberikan gambaran tentang Radio Astronomi dan Teleskop Radio
kepada masyarakat umum.
• Mengembangkan dan mempelajari teknik Interferometer khususnya In-
terferometer Radio yang diimplementasikan dalam Interferometer Radio
JOVE.
• Mempersiapkan peralatan untuk ikut mengamati semburan radio dari
Jupiter dan Matahari di mana siklus aktifitas matahari ke-24 sekarang
ini diprediksi mencapai puncaknya sekitar tahun 2013-215.
• Mengembangkan peralatan yang bisa dibangun dan digunakan di sekolah
menengah sebagai sarana belajar tentang sains.
2
18. I.4 Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan studi literatur tentang teleskop radio JOVE, tele-
skop radio dan astronomi radio secara umum. Informasi dihimpun dari berba-
gai sumber berupa buku-buku, website NASA Radio JOVE Project dan fringe
Simple Interferometer Project serta dari milis Teleskop radio JOVE yang di-
ikuti oleh peserta dari seluruh daerah titik pengamatan di negara-negara lain.
Studi literatur juga dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber radio
dari benda-benda langit yang bisa ditangkap oleh instrument ini, seperti Mata-
hari dan Jupiter. Studi ini digunakan untuk mengetahui mekanisme pancaran
radio dari benda-benda tersebut. Matahari dan Jupiter juga digunakan se-
bagai obyek pengamatan dalam uji coba pengamatan dalam pengembangan
instrument ini.
I.5 Sistematika Penulisan
Tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian:
• Bab 1 merupakan pendahuluan dari isi tugas akhir ini yang meliputi
latar belakang, batasan masalah, tujuan penelitian, metodologi, dan sis-
tematika penulisan.
• Bab 2 menjelaskan tentang semburan radio dari obyek tata surya pa-
da frekuensi rendah. Sumber-sumber radio yang menjadi objek utama
teleskop radio ini seperti Matahari dan Jupiter juga akan dijelaskan.
• Bab 3 menjelaskan tentang teleskop Radio JOVE yang dikembangkan
beserta software yang digunakan serta sistem interferometer yang men-
jadi bagian dari pengembangan lanjutan dari Teleskop Radio JOVE di
Observatorium Bosscha. Beberapa contoh data dari NASA dan contoh
sumber-seumber interferensi juga akan disampaikan pula disini.
• Bab 4 memberikan penjelasan tentang testing dan pengamatan JOVE.
Testing dari masing-masing titik yang akan digunakan sebagai interfe-
rometer, metode pengamatan, dan contoh hasil pengamatan yang telah
dilakukan juga akan disampaikan disini.
• Bab 5 berisi tentang pengembangan interferometer JOVE dua elemen
yang dilakukan, instrumentasi, dan software yang digunakan. Beberapa
3
19. pengenalan umum tentang interferomtry akan mengawali bab ini.
• Bab 6 memaparkan beberapa hasil testing pengamatan yang telah di-
lakukan dengan interferomter JOVE di Observatorium Bosscha.
• Bab 7 berisi kesimpulan dari pekerjaan pengembangan teleskop radio
dan interferomter JOVE di Observatorium Bosscha yang juga merupakan
kesimpulan dari pekerjaan dari tugas akhir ini.
4
20. Bab II
ASTRONOMI RADIO TATA SURYA
FREKUENSI RENDAH
II.1 Emisi Radio
Pada bab ini akan dibahas dua obyek di Tata Surya yang merupakan sumber
kuat radio pada frekuensi rendah. Obyek tersebut adalah Matahari dan Planet
Jupiter. Kedua obyek ini yang akan digunakan sebagai obyek dalam testing
pengamatan pada penelitian ini.
Gambar II.1: Spektrum radiasi elektromagnetik.
Sumber: Rohlfs (2009)
Radiasi yang dipancarkan oleh obyek langit bisa berasal dari mekasisme
radiasi thermal maupun radiasi non-thermal. Radiasi thermal berasal dari
5
21. getaran elektron dan proton akibat adanya energi panas yang ada di obyek
tersebut. Perubahan posisi elektron yang mengalami percepatan menimbulkan
gangguan yang bisa memancarkan gelombang radio. Seperti sebuah batu yang
dilemparkan ke permukaan air, akan menimbulkan gelombang yang menjalar
ke segala arah.
Semakin panas suatu obyek, radiasi cahaya tampak juga akan terpancar-
kan. Mula-mula akan berpendar dari merah kemudian menjadi biru seir-
ing meningkatnya suhu (Gambar II.1). Pada Gambar II.1 Sumbu hirisontal
menunjukkan panjang gelombang dimana nilainya makin membesar ke arah
kanan. Sedangkan sumbu vertikal adalah intensitas yang makin membesar ke
arah atas. Pola radiasi seperti ini termasuk radiasi thermal.
Gambar II.2: Emisi synchrotron.
Sumber: http://www.nrao.edu/index.php/learn/radioastronomy/radiowaves
Sedangkan radiasi non-thermal, salah satunya adalah akibat gerak elektron
yang dipercepat di sekitar medan magnet. Gerak elektron ini (seperti diilus-
trasikan pada Gambar II.2) menyebabkan radiasi radio yang disebut radiasi
cyncrotron. Radiasi dari Jupiter dan Matahari pada frekuensi rendah ini juga
diprediksi berasal dari mekasnisme radiasi synchrotron.
II.2 Jupiter
Jupiter merupakan planet di Tata Surya yang paling mudah dikenali. Memiliki
diameter paling besar diantara planet-planet di Tata Surya. Karena ukurannya
yang sangat besar, Jupiter juga memiliki diameter sudut yang paling besar
dibandingkan planet yang lain.
6
22. Jupiter merupakan planet gas dan memiliki rotasi differensial. Pada bagian
ekuator berotasi lebih cepat dari pada di lintang tinggi. Rotasinya juga san-
gat cepat yaitu kurang dari 10 jam. Ada empat satelit besar yang dimiliki
Jupiter yaitu Io, Europa, Ganymade, dan Callisto. Keempat satelit ini dise-
but juga sebagai satelit Galilean dan bisa dilihat dengan mudah menggunakan
binokuler.
II.2.1 Semburan Radio Jupiter
Pada tahun 1950-an, Bernard Burke dan Kneth Franklin bekerja menggu-
nakan susunan teleskop radio yang menggunakan antena dipol membentuk
suatu array. Teleskop radio yang mereka gunakan adalah Mills Cross array,
sistem teleskop radio yang menggunakan susunan dipol yang disusun berja-
jar lengan yang bersilangan. Pada waktu itu mereka menggunakan teleskop
ini untuk mengamati Crab Nebula sebagai testing apakah teleskop ini bek-
erja atau tidak. Pada malam tertentu mereka mendeteksi sinyal radio yang
cukup kuat secara sporadis. Pada awalnya mereka mengira kalau sinyal itu
berasal dari interferensi lokal seperti dari sistem pengapian truk atau mobil
yang lewat. Namun pada malam-malam berikutnya mereka masih mendeteksi
sinyal tersebut. Karena sinyal ini terus terjadi, mau tidak mau mereka tidak
bisa mengabaikannya. Kemudian mereka mencatat semburan dan menggam-
bar posisi Jupiter pada waktu-waktu tersebut. Hasilnya semburan itu terjadi
tepat dengan masuknya Jupiter pada medan deteksi teleskop, sehingga kemu-
ngkinan besar sumber tersebut berasal dari Jupiter.
Sejak penemuan ini, banyak ilmwuan di seluruh dunia menghabiskan berjam-
jam pengamatan setiap harinya, memonitor emisi Jupiter. Walaupun banyak
teori diajukan dan telah banyak juga mekanisme detail yang telah dimengerti,
tetapi mekanisme pasti dari emisi jupiter ini masih misteri.
Dari pengamatan selama bertahun-tahun, akhirnya didapat suatu statistik
dimana kemungkinan terjadi semburan dari Jupiter meningkat pada saat-saat
tertentu. Berdasarkan koordinat Jupiter sistem II didapat kemungkinan sem-
buran paling tinggi pada longitud sekitar 67◦
(sistem koordinat jupiter akan
dibahas dalam sub-bab selanjutnya).
Kemudian disadari bahwa kejadian semburan tidak sesuai dengan periode
rotasi pada sistem II yang ada, yaitu 9 jam 55 menit 40 detik (Flagg, 200).
Walupun memiliki kemungkinan semburan yang besar pada longitud terse-
7
23. but, tetapi kejadiannya terlalu menyebar ke longitud sekitarnya. Akhirnya
diusulkan koordinat Jupiter sistem III yang memiliki periode rotasi lebih pen-
dek yaitu 9 jam 55 menit 29 detik. Dari koordinat yang baru didapat suatu
pola kejadian semburan radio Jupiter yang berhubungan dengan posisi longi-
tud yang lebih jelas seperti ditunjukkan dalam Gambar II.3.
Gambar II.3: Plot probabilitas terdeteksinya semburan radio dengan tanda sumber
A, B, and C terhadap Central Meridian Longitude (CML). Sumber A memiliki
probabilitas paling tinggi.(Garcia, 1996)
Sedangkan dari catatan frekuensi radio yang diterima, didapat suatu dis-
tribusi frekuensi yang menyatakan bahwa Jupiter tidak mengimisikan radio pa-
da seluruh rentang frekuensi radio. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
II.4, Jupiter mengemisikan radio pada frekuensi dibawah 40 MHz sampai be-
berapa MHz saja. Selain rentang frekuensi tersebut, Jupiter juga mengemisikan
sinyal radio dalam rentang yang lebih sempit dalam sekali semburan. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar II.9, sekali terjadi emisi radio, Jupiter mengisi
beberapa rentang frekuensi tertentu. Walaupun demikian, rentang frekuensi
ini jauh lebih lebar daripada frekuensi yang dipancarkan pemancar radio bu-
atan di Bumi.
Posisi satelit Jupiter Io ternyata juga memiliki peran yang besar terhadap
kemungkinan terjadinya semburan radio. Pada posisi tertentu (Io-Phase, po-
sisi relatif terhadap Jupiter dan Pengamat), terjadi kemungkinan semburan
yang lebih besar. Jika digambar dalam sebuah grafik kemungkinan semburan
antara Io-Phase dan longitud Jupiter (CML) akan didapat grafik seperti pada
Gambar II.6.
8
24. Gambar II.4: Frekuensi emisi radio Jupiter. Tanda bulat tebal menyatakan sem-
buran yang berhubungan dengan satelit Jupiter Io dan tanda plus adalah emisi yang
tidak berkaitan dengan satelit Jupiter Io. Sumber: Flagg (2000)
9
25. Gambar II.5: Spektrum semburan radio Jupiter (Io-A). Sumbu tegak menyatakan
frekuensi sedangkan sumbu mendatar menyatakan waktu. Pada frekuensi tertentu
nampak sinyal yang terus menerus muncul seiring bertambahnya waktu. Sinyal
seperti ini biasanya berupa interferensi. UFRO
Gambar II.6: Kemungkinan terjadinya semburan radio Jupiter berdasar posisi Io
dan longitud Jupiter (CML) . Sumber: Garcia (1996)
10
26. II.2.2 Sistem Koordinat Jupiter
Planet Jupiter memiliki koordinat yang unik. Tidak seperti Bumi, Jupiter
memiliki tiga sistem koordinat. Hal ini bisa terjadi karena jupiter memiliki
permukaan yang dinamis dan rotasi yang berbeda-beda. Berdasarkan Dessler
(1984) , untuk daerah ekuator sampai lintang 10 derajad lintang utara dan 10
derajad lintang selatan, menggunakan system I. Untuk daerah dengan lintang
lebih dari 10 derajat menggunakan system II. Selain dua system ini ada satu
system III. System III tidak terpengaruh dengan kondisi permukaan Jupiter.
Acuan dari System III yaitu medan magnet Jupiter sehingga tidak bisa diten-
tukan secara visual.
Gambar II.7: Sistem bujur koordinat Jupiter dilihat dari kutub utara Jupiter.
Sumber: Dessler (1984)
Rotasi system tiga memiliki kecepatan lebih cepat dari system II, tetapi
lebih lambat dari system I. System III pertama kali diusulkan karena dite-
mukannya semburan radio yang memiliki probabilitas tinggi di lintang terten-
tu. Dari plot probabilitas terhadap lintang, ternyata tidak ada yang cocok
dengan system I dan II. Sehingga diusulkan sistem koordinat lintang System
III, yang tidak terpaut terhadap kenampakan visual permukaan Jupiter tatapi
kepada fenomena magnetik dan semburan radio Jupiter.
11
27. II.2.3 Io-Phase
Io Phase adalah posisi io relatif terhadap Jupiter dalam orbitnya mengelilingi
Jupiter. Posisi 0 derajad adalah posisi ketika Io berada tepat di belakang
Jupiter jika dilihat dari Bumi. Io Phase naik ketika Io mengorbit Jupiter
sampai nilai maksimum 180 derajat ketika Io berada di depan Jupiter atau
berada diantara Bumi dan Jupiter (Gambar II.8). Io Phase terus naik sampai
kembali ke posisi semula, di belakang Jupiter. Io bergerak mengilingi Jupiter
dalam selang waktu 1,77 hari atau sekitar 43 jam.
Gambar II.8: Posisi Io pada orbitnya, bisa disebut fase Io, yang dihitung mulai dari
Super Geocentric Conjunction. Nilai fase Io membesar seiring dengan pergerakan Io
pengelilingi Jupiter. Sumber: Flagg (2000)
II.2.4 Io dan Non-Io Bursts
Io Burst adalah semburan radio dari Jupiter yang berkaitan dengan Io,sedangkan
Non Io adalah yang tidak berkaitan dengan Io.
Beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab oleh para ilmuwan mis-
alnya:
12
28. • Seberapa rapat Io Thorus di sekitar Jupiter? Bagaimana distribusinya di
sekeliling planet dan bagaimana dia berubah terhadap waktu berkaitan
dengan aktifitas vulkanik Io?
• Bagaimana dengan Matahari? Bagaimana pengaruhnya terhadap emisi
radio pada Jupiter? Jupiter juga mempunyai bulan bulan yang lain.
Bagaimana pengarunya terhadap emisi Jupiter?
• Jupiter mengemisikan dalam arah tertentu? Bagaimana bentuknya?
Apakah selalu berbentuk seperti itu?
• Di mana tepatnya emisi radio tersebut berasal? Apakah ada perbedaan
tempat antara yang berkaitan dengan Io dan tidak?.
II.3 Matahari
Matahari merupakan obyek pemancar radio alam paling terang di langit. Gem-
lombang radio yang dipancarkan Matahari bisa dari proses thermal maupun
non-thermal. Posisinya juga sangat dekat dengan Bumi, sehingga peristiwanya
bisa mendekati real time. Walaupun teleskop radio JOVE dirancang untuk
menerima sinyal dari Jupiter, sistem ini bisa digunakan pula untuk menangkap
sinyal burst dari Matahari. Semburan dari Matahari bisa jadi lebih kuat dari
Jupiter tetapi tidak bisa diprediksi.
II.3.1 Siklus Aktivitas Matahari
Siklus aktifitas matahari memiliki periode sekitar 11 tahun. Siklus ini berak-
ibat secara tidak langsung terhadap semburan radio pada frekuensi rendah.
Meningkatnya aktifitas matahari biasanya ditandai dengan banyaknya jumlah
sunspot. Jumlah sunspot yang tinggi bisa menyebabkan permukaan matahari
lebih dinamis dan sering terjadi flare. Dari flare ini umumnya semburan radio
berasal.
II.3.2 Matahari Tenang
Matahari yang sedang sedikit atau tidak ada aktifitas bintik hitam (sunspot),
memiliki pancaran radio yang stabil dengan beberapa variasi intensitas yang
13
29. gradual. Dalam keadaan ini, Matahari sedang berada pada siklus minimum
atau biasa disebut sebagai quiet sun atau tenang.
II.3.3 Matahari Aktif
Ketika terdapat jumlah bintik hitam yang meningkat, derau radio (noise) ku-
at akan semakin besar kemungkinan muncul dengan interval bervariasi antara
detik, menit, atau jam. Kuat puncak radiasi bisa mencapai sepuluh kali lebih
kuat dari quiet sun. Derau radio kuat ini bisa dengan mudah diterima dengan
antena dan receiver JOVE. Walaupun pada siang hari, ionosfer bisa meman-
tulkan energi matahari kembali ke luar angkasa, banyak semburan yang masih
cukup kuat untuk bisa dideteksi.
Noise radio burst sering dikaitkan dengan flare yang terjadi di sekitar bintik
Matahari. flare bisa diamati pada gelombang tampak, ultraviolet, dan sinar-x.
Emisi radio yang berkaitan dengan flare sering teramati pada rentang frekuensi
antara 20 sampai 400 MHz.
Terdapat lima tipe aktifitas semburan radio Matahari (Flagg, 2000), yaitu:
1. Tipe I (Noise-storm bursts)
Semburan Tipe I biasanya berlangsung sangat singkat dengan waktu
sekitar 0,1 sampai 10 detik, narrowband, berbentuk spike tajam, dan
kadang berkaitan dengan broadband continuum. Rentang waktu kejadian
bisa beberapa jam sampai beberapa hari.
2. Tipe II (Slow-drift bursts)
Semburan Tipe II terjadi selama beberapa menit, berubah dari frekuensi
tinggi ke frekuensi rendah dengan pergeseran 1 MHz per detik. Sembu-
ran ini berasal dari gelombang kejut yang bergerak keluar melalui korona
dan menstimulasi emisi radio pada frekuensi plasma lokal (local plasma
frequency). Gelombang kejut ini berkaitan dengan pelontaran material
selama terjadi flare. Material yang sama bisa mencapai Bumi setelah
satu atau dua hari sejak terjadinya flare. Semburan Tipe II sering nam-
pak pada dua frekuensi secara simultan yang utama dan harmonis yang
kedua.
3. Tipe III (Fast-drift bursts)
Semburan dengan frekuensi bergeser dengan cepat dari frekuensi ting-
gi ke frekunesi rendah dengan pergeseran 20 MHz per detik. Perge-
14
30. seran frekuensi yang cepat menunjukkan bahwa semburan ini berasal
dari pergerakan cepat aliran elektron keluar melalui korona dengan ke-
cepatan seperempat kecepatan cahaya, memicu emisi radio pada local
plasma frequency. Semburan Tipe III dengan intensitas tinggi sering
terjadi bersamaan dengan terjadinya flare.
4. Tipe IV (Broadband continuum emission)
Semburan ini memiliki pita yang sangat lebar dengan durasi kejadian
dimulai sekitar 10 sampai 20 menit setelah flare. Semburan tipe ini
sering terjadi setelah semburan Tipe II. Semburan Tipe IV lebih kontinyu
dibanding dengan short noise burst.
5. Tipe V (Continuum at meter wavelengths)
Semburan Tipe V sering dikaitkan dengan semburan Tipe III. Semburan
ini berlangsung selama beberapa menit.
Berdasarkan deskripsi ini, semburan Matahari memiliki karakter berda-
sarkan waktu kejadian dan rentang frekuensi yang lebar. Dengan spektrograf,
semburan bisa dipantau menjadi sebuah gambar yang bisa menunjukkan perge-
seran frekuensi tersebut, lihat Gambar II.9
Gambar II.9: Spektrum semburan radio Matahari. Sumber: UFRO
matahari yang sedang aktif, sangat sering terjadi semburan radio dari
matahari.
II.4 Derau dari Latar Belakang Galaktik
Ketika antena dipasang, derau stabil akan terdengar dari speaker. Derau ra-
dio ini berasal dari elektron-elektron yang berputar pada medan magnetik
15
31. di galaksi kita. Gerakan ini menghasilkan derau radio yang bisa ditangkap
oleh antena radio JOVE. Derau radio ini desalurkan ke receiver sebagai sinyal
yang sangat lemah kemudian diperkuat atau diamplifikasi di dalam receiver.
Walaupun suara derau galaktik dan derau rangkaian dalam receiver mirip, de-
rau galaktik jauh lebih kuat pada frekuensi gelombang pendek. Semaikn tinggi
frekuensi, semakin rendah sinyal latar belakang galaktik, tetapi pada 20 MHz
masih cukup kuat, sekitar sepuluh sampai dua puluh kali lebih kuat dari derau
internal receiver.
16
32. Bab III
TELESKOP RADIO FREKUENSI
RENDAH (RADIO JOVE)
Dimulai tahun 1998, NASA yang juga tergabung dalam Tim Proyek Radio
JOVE mengembangkan suatu sistem instrumen yang bisa digunakan untuk
mengamati semburan radio frekuensi rendah dengan panjang gelombang me-
teran (dekametrik). Sistem ini memiliki konsep yang sederhana dan mudah
dijangkau, baik dari sisi teknis maupun biaya.
Gambar III.1: Diagram Sistem Teleskop Radio JOVE.
Sumber: receiver Manual
Sistem ini disebut Teleskop Radio JOVE. Teleskop radio JOVE bekerja
pada frekuensi rendah yaitu 20,1 MHz. Daerah frekuensi yang diisi teleskop
radio JOVE bisa dilihat pada Gambar III.2. Keunikan frekuensi ini telah diba-
has pada bab sebelumnya. Sistem ini memiliki konsep yang sangat sederhana
namun memiliki nilai science dan teknis yang cukup besar. Diagram sistem
ini secara umum bisa dilihat pada Gambar III.1
17
33. Beberapa Observatorium, baik yang professional maupun amatir, telah
mempublikasikan data pengamatan mereka secara real time lewat jaringan
internet. Dengan demikian para pengguna internet atau pengamat lain bisa
memantau hasil pengamatan dari lokasi lain secara real time pula. Para penga-
mat juga bisa berbagi data masing-masing lewat milis atau pusat data di web-
site NASA radio JOVE.
Gambar III.2: Keterangan dari sumber (http://astro.u-strasbg.fr/ koppen-10GHz-
basics.html) yang menyatakan spektrum radio dari sumber astronomis (dari buku
Radioastronomy oleh John Krauss). Garis hijau menandai nilai 20 MHz, frekuensi
dimana Teleskop Radio JOVE bekerja. Garis kuning menandakan frekuensi pa-
da panjang gelombang 21cm. Tanda merah menandai frekuensi 12 GHz, dimana
teleskop ESA-Dresden bekerja. Sumbu tegak adalah fluks sumber, nilai power tiap
unit area permukaan teleskop. Sumber: http://astro.u-strasbg.fr/ koppen-10GHz-
basics.html
III.1 Antena
Antena teleskop rdio JOVE berupa dual dipole yang digabung menjadi sebuah
array. masing-masing antena memiliki panjang sekitar 7 meter dan dipasang
secara horisontal sejajar dengan permukaan tanah. Antena dipole ini terbuat
dari inti kabel yang dikupas isolator pembungkusnya dan dibentangkan pa-
18
34. da dua tiang dari besi yang telah dipersiapkan (Gambar III.3 dan Gambar
III.5). Lokasi antena berada di sebelah timur ruang kontrol radio atau di
depan gedung Surya, Observatorium Bosscha, Lembang.
Gambar III.3: Diagram Antenna Radio JOVE (kiri) dan foto antena yang sudah
berdiri, tampak tiang antena berwarna merah (kanan).
Gambar III.4: feedlines pada salah satu antena, yaitu yang menyambung antara
antena dengan kabel koaksial (kiri) dan combiner sebagai tempat bertemunya sinyal
dari masing-masing antena dipol (kanan).
Antana ini dibentangkan dalam arah Timur-Barat. Terdapat dua dipole
yang terpasang sehingga ada dipole selatan dan dipole utara. Jarak antara
dipole utara dan dipole selatan yaitu sekitar 7 meter atau 0,5 λ.
Kabel koaksial atau kabel transmisi yang digunakan untuk menyambung
antena ke receiver adalah Belden RG/6U. Kabel koaksial ini memiliki velocity
factor 0.82. Velocity factor perlu diketahui untuk menentukan panjang kabel
transmisi. Panjang kabel transmisi dari masing-masing antena ke combiner
yaitu 0.5 λ atau sekitar 12,14 meter. Sedangkan panjang kabel transmisi dari
combiner ke receiver yaitu 1 λ atau sekitar 12,28 meter. Daftar spesifikasi
kabel yang digunakan dapat dilihat pada Tabel III.1 dan bentuk combiner
dan feedlines dapat dilihat pada Gambar III.4.
19
35. Gambar III.5: Persiapan pendirian antena dan pemasangan jalur transmisi untuk
menyambung kabel koaksial dari masing-masing antena ke combiner.
Tabel III.1: Spesifikasi Feedlines Antena
Bagian Jumlah Panjang (λ) Panjang (m)
Kabel dari dipole ke combiner 2 1 λ 12,28 m
Kabel dari combiner ke receiver 1 1 λ 12,28 m
III.2 Receiver
Receiver radio JOVE merupakan receiver gelombang pendek yang akan digu-
nakan untuk menerima sinyal radio dari planet Jupiter dan juga Matahari.
Receiver ini memiliki 100 komponen elektronik dan beberapa bagian hardware
yang lain. Komponen-komponen kecil dipasang dan disolder pada PCB. Ra-
dio ini menggunakan banyak tipe komponen yang berbeda. Masing-masing
komponen memiliki tugasnya masing-masing (Gambar III.6).
Sinyal radio dari jupiter sangat lemah. Sinyal ini menghasilkan tegan-
gan kurang dari sepersejuta volt (1 mikrovolt, 1µv) pada terminal antena di
receiver. Sinyal radio frekuensi (RF) ini harus di perkuat dan dikonversi ke
sinyal audio untuk menjalankan headphone atau loudspeaker. receiver ini juga
memiliki operasi kerja hanya pada rentang frekuensi yang sempit dan mem-
blok frekuensi lain yang sebagian berasal dari sinyal kebumian. Gabungan
dari receiver dan antena ini didesain untuk beroperasi pada rentang frekuensi
gelombang radio pendek (short wave) yang sempit, berpusat pada frekuensi
20,1 MHz. Frekuensi ini merupakan rentang frekuensi optimum untuk mende-
teksi sinyal Jupiter (lihat Gambar II.4).
20
36. III.2.1 Blok Diagram Alur Kerja Receiver
Gambar III.6: Diagram block receiver JOVE. Sumber: Receiver Manual
Deskripsi teori dalam alur kerja receiver akan dibahas satu per satu berikut
ini:
Antena
Antena menerima gelelombang elektromagnetik lemah yang telah men-
empuh jarak sekitar 588 juta km lebih dari jupiter. Ketika gelombang
elektromagnet ini mengenai kabel antena, sebuah nilai tegangan yang
kecil (voltase RF) terbentuk dalam terminal antena. Sinyal dari antena
akan di transmisikan ke receiver melalui kabel transmisi koaksial.
RF Bandpass Filter dan Preamplifier
Sinyal dari antena akan ditapis (filter) untuk menghalangi interferensi
kuat di luar rentang frekuensi yang dipilih.
21
37. Local Oscillator dan Mixer
Local Oscillator (LO) dan mixer berperan sangat penting dalam menkon-
versi sinyal frekuensi radio yang diinginkan menjadi sinyal dalam ren-
tang frekuensi audio. Local Oscillator menghasilkan tegangan berbentuk
gelombang sinus pada frekuensi sekitar 20,1 MHz. Frekuensi tepatnya,
diset dari panel tuning kontrol yang ada di depan kotak receiver. Ke-
dua sinyal yang berasal dari sinyal RF yang telah di amplifikasi dan
sinyal LO digambung dalam mixer. Mixer akan membentuk sinyal baru
yang berbeda dengan sinyal RF maupun sinyal dari LO. Anggap sinyal
yang ingin kita tangkap adalah 20,101 MHz dan LO mengeluarkan sinyal
20,100 MHz. Perbedaan frekuensi ini adalah, 20,101 MHz - 20,100 MHz
= 0,001 MHz, dimana frekuensi audionya akan menjadi 1 kHz. Karna
sinyal RF langsung dikonversi menjadi audio, maka sistem radio seperti
ini disebut direct conversion receiver.
Low Pass Filter(LPF)
Untuk menghilangkan interferensi pada frekuensi yang berdekatan, di-
gunakan filter yang berperan seperti jendela dengan lebar beberapa kilo-
hertz di mana sinyal Jupiter bisa masuk. Ketika digunakan untuk menden-
garkan Jupiter atau Matahari, radio diset pada kanal frekuensi yang
bersih. Karena frekuensi lebih dari beberapa kilohertz dari frekuensi ten-
gah kemungkinan terdapat interferensi, maka frekuensi yang lebih tinggi
harus dihilangkan. Inilah kegunaan low pass filter yang berada pada
blok setelah mixer. LPF melewatkan frekuensi (audio) rendah hingga
3,5 KHz dan melemahkan frekunsi yang lebih tinggi.
Audio Amplifier
Audio amplifier berperan untuk menguatkan sinyal audio lemah yang
dilewatkan LPF. Sinyal audio diamplifikasi sampai cukup kuat untuk
menjalankan headphone secara langsung, atau speaker eksternal yang
memiliki amplifikasi sendiri.
III.3 Software
Ada beberapa software yang digunakan dalam sistem teleskop radio JOVE ini.
Software ini dijalankan ketika pengamatan tengah berlangsung. Dengan ban-
tuan software ini, pengamat bisa lebih efisien. Ada software yang berasal dari
22
38. penyedia yang sama dan ada yang berbeda. Software ini ada yang merupakan
software utama dan ada yang berupa software pendukung. Diantaranya akan
dibahas satu-persatu di bawah ini.
1. Radio Sky-Pipe II
Radio Sky-Pipe merupakan software utama dalam pengamatan radio JOVE.
Software ini digunakan untuk merekam sinyal yang diterima saat pengamatan.
Data yang didapat berupa grafik yang menyatakan intensitas terhadap waktu.
Data ini diambil dari receiver yang diteruskan ke soundcard.
Sinyal audio yang berupa sinyal analog diubah menjadi sinyal dijital di da-
lam soundcard. Kemudian sinyal ini akan diterjemahkan dalam sebuah grafik
seperti dijelaskan di atas. Sebagai contoh bisa dilihat seperti pada Gambar
III.17. Grafik ini disebut sebagai chart recording.
Chart Recording
Bagian ini adalah bagian utama dari sofrware ini. Chart recording merupakan
tampilan dari kekuatan fluks radio yang tertangkap terhadap waktu.
Log Pengamatan
Software ini menyediakan log pengamatan yang sangat fungsional terhadap
pengamatan semburan radio Jupiter ataupun Matahari.
2. Jupiter Pro 3
Jupiter Pro 3 adalah tools yang memudahkan dalam pengamatan semburan
radio dari Jupiter ataupun Matahari. Tools ini memberikan kemudahan bagi
pengamat untuk merencanakan kapan harus melakukan pengamatan.
Peta Langit Jupiter dan Matahari
Salah satu fasilitas pada software Jupiter Pro 3 adalah peta langit posisi
Jupiter dan Matahari terhadap beam antena. Peta langit ini membertahu
pengamat tentang posisi planet Jupiter dan lokasi Matahari terhadap beam
secara real time(Gambar III.8). Dengan fasilitas ini, pengamat bisa lebih mu-
dah memprediksi dan menerka sinyal yang ditangkap. Pada peta ini juga
terdapat posisi bintang-bintang dan bidang galaksi Bima Sakti.
23
39. Gambar III.7: Screenshot posisi Jupiter dan matahari dalam satu tahun. Arsiran
kuning menyatakan kenampakan Matahari, biru menyatakan kenampakan Jupiter,
sedangkan hijau menyatakan kenampakan Matahari dan Jupiter secara bersamaan.
Warna putih menyatakan tidak ada Matahari maupun Jupiter yang nampak.
Prediksi Semburan Jupiter
software ini juga menyediakan prediksi kapan terjadi semburan dari Jupiter
terkait dengan medan magnet di Jupiter dan posisi Io (Gambar III.9).
Peta Sistem III CML dan Io-Phase
Untuk memudahkan pengamatan dan monitoring, software Jupiter Pro 3 juga
dilengkapi dengan posisi Jupiter terhadap kemungkinan terjadinya semburan
yang dinyatakan dalam Io-Phase dan CML(Gambar III.3).
Ephemeris
Data ephemeris, termasuk CML dan posisi Io baik altitud maupun azimut dan
elevasi untuk Jupiter dan Matahari, juga tersedia dalam software ini. Data
24
40. Gambar III.8: Screenshot posisi Jupiter dan Matahari relatif terhadap beam ante-
na. Garis kuning menunjukkan garis proyeksi lintasan Matahari di langit, sedangkan
garis coklat menunjukkan garis proyeki lintasan Jupiter di langit. Pada screenshot
di atas juga terdapat bidang galaksi yang membentang-melengkung dari atas ke
kanan.
Gambar III.9: Screenshot prediksi semburan Jupiter.
25
41. posisi Jupiter terhadap grafik prediksi Io-phase dan CML.]Screenshot posisi
Jupiter terhadap grafik prediksi Io-phase dan CML.
ephemeris dalam bentuk tabular untuk waktu dan tempat juga bisa dibuat.
3. Audacity
Audacity merupakan software pengolahan audio yang biasa digunakan untuk
studio musik. Software ini berlisensi GNU General Public License (GPL), versi
2. Dalam kasus ini, Audacity digunakan untuk perekaman audio dan olah data
audio dari receiver JOVE. Data keluaran yang dihasilkan berekstensi khas
Audacity dan juga bisa disimpan dalam format .wav atau .mp3.
III.4 Kalibrasi
Kalibrasi diperlukan untuk mendapat nilai data yang memiliki makna fisis/astronomis.
Dalam hal ini adalah nilai daya yang direkam pada Radio Sky-Pipe. Untuk
melakukan kalibrasi, dibutuhkan kalibrator berupa sumber derau buatan yang
sudah diketahui nilainya.
Secara umum, untuk melakukan kalibrasi, yang dilakukan adalah merekam
noise dari sistem yang beroperasi secara normal. Kemudian lepas antena dan
ganti dengan sumber noise buatan yang sudah diketahui karakteristik fisisnya.
Selanjutnya, sesuaikan sumber yang ditangkap dengan sinyal yang berasal dari
26
42. sumber derau buatan. Dari sini akan didapat nilai fisis sinyal radio yang
tertangkap antena. Sumber derau buatan dan posisi pemasangan saat kalibrasi
bisa dilihat pada Gambar III.11.
Gambar III.11: Sumber noise buatan dan power subpply (kiri). Sumber noise
dimasukkan ke konektor antena pada receiver (kanan).
Pada Gambar III.12 ditunjukkan screenshot dalam melakukan kalibrasi
yang dilakukan menggunakan Callibration Wizard yang telah tersedia dalam
software Sky-Pipe II. Pastikan dulu daya yang digunakan untuk sumber derau
buatan telah sesuai dengan spesifikasinya, kalau perlu dites kembali menggu-
nakan multitester. Selengkapnya ditunjukkan pada Gambar III.13 - III.16.
Gambar III.12: Proses kalibrasi dengan menggunakan Callibration Wizard pada
Sky-Pipe II dimulai dengan melalui menu Tools kemudian pilih Callibration Wizard
(kiri). Setelah itu muncul dialog yang menunjukkan pilihan sumber input yang
digunakan (kanan).
27
43. Gambar III.13: Setelah itu muncul dialog yang memberi petunjuk untuk
mematikan receiver (kiri). Setelah receiver dimatikan, klik OK. Sky-Pipe II akan
melakukan proses kalibrasi soundcard. Proses ini dilakukan untuk mengetahui dan
menghilangkan derau soundcard untuk tidak dimasukkan kedalam data (kanan).
Gambar III.14: Proses selanjutnya yaitu mengetahui nilai loss kabel transmisi.
Untuk kabel RG-59 dan RG-6 sudah disertakan karakteristiknya, sehingga kita ting-
gal memasukkan panjang kabel. Sedangkan untuk kabel jenis lain, kita harus mema-
sukkan nilai loss-nya sendiri.
Gambar III.15: Selanjutnya perlu diatur volume masukan baik di receiver maupun
di komputer sehingga didapatkan ketinggian grafik yang menunjukkan angka sekitar
200-400 pada Sky-Pipe II (kiri). Setelah tekan OK akan muncul jendela yang meny-
atakan sistem sedang melakukan kalibrasi (kanan). Tunggu beberapa saat hingga
kalibrasi selesai.
28
44. Gambar III.16: Chart yang sudah terkalibrasi dan siap digunakan.
III.5 Contoh Data
Data yang didapat dari sistem teleskop Radio JOVE ini berupa grafik yang
menyatakan intensitas radio yang diterima berdasarkan waktu perekaman. Da-
ta ini juga bisa disimpan menjadi data txt yang menyatakan intensitas dan
waktu perekaman. Beberapa contoh data yang berasal dari Proyek Radio
JOVE NASA ditunjukkan pada Gambar III.17.
III.6 Sumber-Sumber Interferensi
Interferensi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena bisa me-
ngaburkan informasi dari benda-benda astronomis yang ingin kita amati. Ki-
ta perlu mengenali pola-pola interferensi ini untuk membedakan sumber as-
tronomis dengan interferensi. Beberapa sumber interferensi yang bisa terde-
teksi oleh instrumen ini akan dibahas satu persatu di bawah ini.
III.6.1 Interferensi Alami
Interferensi alami adalah interfernensi yang berasal dari sumber alami. Sumber
interfernsi alami yang cukup kuat adalah petir atau kilat.
Petir atau Kilat. Petir atau kilat merupakan interferensi yang sering terja-
di. Kilat yang terjadi beberapa kilometer masih bisa terdeteksi. Suara
kilat ini agak mengaburkan informasi yang didapat dari planet jupiter
29
45. Gambar III.17: Screenshot contoh data pengamatan dari NASA Radio JOVE.
Sumbu mendatar menyatakan waktu sedangkan sumbu tegak menyatakan intensi-
tas. Kiri atas adalah contoh sinyal dari latar belakang galaktik, kanan atas adalah
semburan dari matahari, kiri bawah short burst Jupiter dan kanan bawah long burst
Jupiter.
karena profil suaranya mirip dengan sinyal short burst Jupiter tetapi
hanya terjadi sesekali saja.
Interferensi dari kilat lebih sering terjadi jika ada awan di sekitar tempat
teleskop. Selain itu, interferensi ini juga kadang terdengar saat cuaca ce-
rah tetapi ada awan di sekitar horizon. Biasanya interferensi ini terbukti
ketika ada kilatan cahaya, di chart atau di audio akan terdeteksi.
III.6.2 Komunikasi Digital High-Frequency
Sumber-sumber interferensi buatan manusia adalah sumber interferensi yang
paling sering terdeteksi. Ada beberapa sumber yang akan kita bahas berda-
sarkan informasi dari Proyek Radio JOVE NASA dan berdasarkan apa yang
terdeteksi saat pengamatan.
HF Radar. Interferensi HF Radar akan sering terdengar pada frekuensi JOVE
dengan kondisi ionosfer yang sesuai. Dua tipe RADAR utama adalah
Over The Horizon Radar RADAR (OTHR) dan Survace Wave RADAR
(SWR). OTHR menggunakan Ionosfer untuk memantulkan sinyal yang
ditransmisikan dalam arah medan pandang horizon sedangkan SWR
30
46. mengandalkan gelombang permukaan tanah. OTHR bisa terdeteksi hing-
ga rentang ribuan kilometer sedangkan SWR memiliki rentang ratusan
kilometer.
Radioteletype (RTTY). Radioteletype (RTTY) menggunakan transmisi Fre-
quency Shift Keying(FSK) untuk memancarkan pesan teks. Misalnya
pengiriman teks pada enam puluh kata per menit.
PACTOR. PACTOR adalah protokol dalam transmisi radio yang biasa di-
gunakan oleh armada laut atau pengguna lain, termasuk amatir, untuk
mengirim dan menerima informasi digital lewat radio. PACTOR adalah
salah satu cara yang paling cepat, akurat, dan efisien dalam mengirimkan
data digital menggunakan radio.
Slow-Scan television (SSTV). Slow-Scan television (SSTV) adalah metode
transmisi gambar yang biasa digunakan oleh para operator radio am-
atir, untuk menerima atau mengirim gambar monokromatik atau warna
menggunakan radio.
HF Weather FAX. Radiofax atau juga dikenal sebagai Weatherfax dan HF
fax dikarenakan menggunakan pita HF (Shortwave), adalah mode analog
untuk mentransmisikan gambar hitam putih.
Ionosonde. Ionosonde menggunakan beberapa frekuensi radio, memancar-
kannya seperti radar untuk mengukur Radio Frequency (RF) berdasar-
kan karakteristik Ionosfer.
III.6.3 Interferensi Lokal
Sumber interferensi lokal berasal dari peralatan listrik atau mesin disekitar
pengamatan. Peralatan-peralatan listrik dan mekanis tersebut bisa menye-
babkan interferensi radio yang bisa ditangkap oleh receiver teleskop radio
JOVE.
Electrick Buzz. Interferensi ini berasal dari kejutan-kejutan listrik dalam
jala-jala listrik di sekitar pengamatan. Sinyal yang muncul berupa spike
yang membentuk garis vertikal tajam dan terjadi sangat singkat. Inter-
ferensi electrick buzz ini sering muncul saat pengamatan.
31
47. III.6.4 Stasiun Radio Broadcasting
Interferensi ini berasal dari siaran-siaran radio komersial dan juga bisa dari
stasiun-stasiun radio amatir.
32
48. Bab IV
TESTING DAN PENGAMATAN
JOVE
Seperti telah disebutkan dalam Bab sebelumnnya, ada dua obyek yang bisa
digunakan dalam program pengamatan dengan Teleskop Radio JOVE. Obyek
ini adalah Jupiter dan Matahari, sedangkan radiasi latar belakang galaktik
akan selalu ikut terekam saat sistem aktif. Terkadang level latar belakang
galaktik mengalami perubahan, tetapi tidak telalu signifikan.
Testing dan pengamatan dilakukan untuk menguji sistem teleskop setelah
selesai dibangun (Gambar IV.1). Testing dilakukan dengan mengaktifkan se-
mua peralatan. Hal ini perlu dilakukan untuk menguji peralatan apakah siap
untuk digunakan atau tidak. Testing di sini termasuk menjalankan software
yang diperlukan saat pengamatan. Setelah didapat hasil yang menyatakan per-
alatan bekerja, kemudian dilakukan testing pengamatan terhadap dua obyek
diatas.
Gambar IV.1: Pengamatan Jupiter
33
49. IV.1 Metode Pengamatan
Karakteristik radiasi radio antara Jupiter dan Matahari berbeda, sehingga
metode untuk mengamatinya juga berbeda. Seperti yang sudah dibahas pada
Bab II, Jupiter mengemisikan radio pada waktu-waktu tertentu yang lebih bisa
diprediksi, sedangkan Matahari tidak bisa diprediksi.
Untuk hal teknis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk memas-
tikan alat bekerja. Beberapa hal tersebut adalah:
1. Memastikan antena telah dipasang dengan benar.
Kabel koaksial disambung dulu dengan antena. Setelah dipastikan kabel
dan antena tersambung, antena didirikan. Sambungan antara antena
dan combiner juga dipastikan tersambung.
2. Menyambung kabel koaksial ke receiver.
Menyambung kabel koaksial dari combiner ke receiver. Kabel ini memi-
liki panjang 1 λ (12,28 m).
3. Menyambung kabel audio ke soundcard
Kabel audio dari receiver dipersiapkan dan dipasang untuk menyalurkan
sinyal audio dari receiver ke komputer (soundcard.)
4. Mengaktifkan semua peralatan.
Setelah semua peralatan siap dan sambungan juga sudah dipastikan ter-
sambung semua, peralatan diaktifkan. Pengaktifan bisa dimulai dari re-
ceiver dengan memberikan catu daya yang diperlukan dan menyalakan-
nya dengan volume diset di posisi sekitar jam 12. Posisi ini kira-kira
merupakan posisi tengah volume
5. Mengaktifkan semua software yang akan digunakan.
Software yang telah dipersiapkan diaktifkan, dimulai dari Radio Jupiter
Pro3, Sky-Pipe, Audacity (jika ingin merekam audio), dan membuka log
pengamatan yang disediakan Radio Sky-Pipe II.
IV.2 Testing Jove 1 dan Jove 2
Ada dua tempat teleskop radio JOVE yang ada di Observatorium Bosscha.
Lokasi yang pertama yaitu di samping ruang radio atau di depan gedung Surya.
34
50. Sedangkan lokasi yang kedua yaitu di dekat ruang teleskop transit atau di
sebelah Pos Satpam di Observatorium Bosscha.
Gambar IV.2: Antena Jove 1 (AJ-TB1)disebelah teleskop transit (kiri) dan antena
Jove 2 (AJ-TB2) di depan teleskop surya (kanan).
Testing dilakukan pada masing-masing antena dan feedlines dengan cara
melakukan pengamatan baik secara simulatan atau sendiri-sendiri. Jika dida-
pat sinyal yang masuk, secara kualitatif diasumsikan antena telah bekerja.
Pengetesan tidak hanya dilakukan ketika antena sudah terpasang, tetapi
juga dilakukan sebelum antena terpasang. Pengetesan ini dilakukan dengan
menggunakan multitester untuk memastikan bahwa masing-masing bagian an-
tena telah tersambung dengan baik, terutama bagian sambungan antara dipol
dan feedlines.
IV.3 Pengamatan Semburan Radio Jupiter
Emisi radio Jupiter dipengaruhi koordinat Jupiter dan posisi Io relatif ter-
hadap Jupiter dan Bumi (pengamat). Selain itu, perlu dilakukan sinkronisasi
dengan medan deteksi antena (beamwidth). Sehingga ketika didapat prediksi
emisi radio Jupiter, perlu dipastikan pula bahwa pada saat itu posisi Jupiter
berada pada beamwidth antena.
Untuk melakukan perencanaan pengamatan, bisa menggunakan software
Jupiter Pro 3 yang sudah dibahas pada Bab III diatas. Pada Gambar IV.3
diperlihatkan beberapa software yang digunakan saat testing mengamati Jupiter.
Berbeda dengan pengamatn optik kebanyakan yang bisa dilakukan dengan
memantau langit langsung dan mengecek lewat eyepiece, pengamatan radio
JOVE ini hanya dilakukan dengan cara memonitor lewat komputer. Pa-
da testing pengamatan Jupiter ini, belum didapat suatu data yang benar-
35
51. benar meyakinkan tentang adanya semburan radio yang terdeteksi berasal dari
Jupiter.
Gambar IV.3: Screenshot software yang digunakan saat pengamatan Jupiter. Ada
Audacity, Radio Sky-Pipe II dan Log Pengamatan, peta prediksi semburan radio
Jupiter terhadap CML dan Io-Phase serta peta posisi Jupiter dan Matahari terhadap
beamwidth antena.
36
52. IV.4 Pengamatan Semburan Radio Matahari
Pengamatan Matahari dilakukan dengan metode monitoring. Waktu yang
digunakan juga lebih acak, artinya tidak ada waktu yang lebih istimewa dari-
pada waktu yang lain kecuali hanya saat Matahari masuk dalam beam antena.
Keberhasilan mendeteksi semburan radio juga tergantung aktifitas Matahari.
Pada saat uji pengamatan, pernah terdeteksi semburan radio yang kuat.
Kejadian ini bertepatan dengan terjadinya flare besar pertama dalam siklus 24
ini (http://www.spaceweather.com). Flare ini terjadi pada tanggal 15 Februari
2011. Data hasil pengamatan dari teleskop radio JOVE Observatorium Boss-
cha bisa dilihat pada Gambar IV.5. Pada gambar tersebut terdapat beberapa
kali peningkatan intensitas. Data spektrum radio dari Bruny Island Radio
Spectrometer, Tasmania, Australia juga didapat intensitas radio yang kuat
pada waktu dideteksinya semburan radio di Observatorium Bosscha (Gambar
IV.6, yaitu sekitar 4:30 UT.
Dari konfirmasi yang dilakukan dengan beberapa Observatorium profesion-
al seperti GOES, SDO, dan STEREO (Gambar IV.8, IV.9 dan IV.10) juga
didapat hubungan yang positif tentang terjadinya flare yang terdeteksi meng-
gunakan teleskop Radio JOVE di Observatorium Bosscha. Bahkan dari data
GOES, menunjukkan bahwa flare ini merupakan jenis flare kelas X di mana
flare kelas ini merupakan kelas flare paling kuat. Pengamatan ini merupakan
testing peralatan setelah dilakukan testing kalibrasi menggunakan sumber de-
rau yang pertama kali. Screenshot monitor dan software yang digunakan saat
pengamatan bisa dilihat pada Gambar IV.4.
Pada pengamatan ini juga sempat direkam suara dari semburan radio
Matahari tersebut. Profil audio semburan ini bisa dilihat pada Gambar IV.7.
Gambar tersebut adalah profil audio dengan durasi sekitar 1,55 menit. Ter-
jadinya semburan radio yang terjadi sekitar 4:36 UT membentuk bagian yang
menebal pada gambar. Kemudian diikuti bagian menebal yang kecil-kecil un-
tuk semburan yang lebih kecil berikutnya.
37
53. Gambar IV.4: Pengamatan semburan radio Matahari saat flare kelas X2 tang-
gal 15 Februari 2011. Pada screenshot diatas diperlihatkan ada dua software yang
digunakan saat pengamatan, yaitu Jupiter Pro3 untuk melihat posisi Matahari ter-
hadap beam antena dan Radio Sky-Pipe II untuk merekam intensitas semburan,
baik diagram power ataupun audio, sekaligus untuk menampilkan dan mencatat log
pengamatan.
38
54. Gambar IV.5: Hasil pengamatan semburan radio Matahari 15 Februari 2011
39
55. Gambar IV.6: Spektrum radio dari Bruny Island Radio Spectrometer, Tasmania,
Australia. Sumbu tegak adalah frekuensi mulai 6 MHz (bawah) sampai 62 MHz
(atas). Sumbu mendatar adalah waktu dalam UT yang dimulai pada 04 UT (kiri)
sampai 05 UT (kanan) dengan tanda garis-garis kecil menandakan selang waktu lima
menit.
Sumber: http://gbsrbs.nrao.edu/Html/2011/02/20110215 birs.html
Gambar IV.7: Profil audio saat terjadinya solar flare kelas X2 tanggal 15 Februari
2011. Hasil rekaman ini sudah mengalami penguatan (amplifikasi) dengan menggu-
nakan software audio Audacity.
40
56. Gambar IV.8: Profil fluks sinar X dari satelit GOES. Sumber:
http://www.swpc.noaa.gov
Gambar IV.9: Konfirmasi citra Matahari dari satelit SOHO saat terdeteksinya
semburan radio 15 Februari 2011. Tanda lingkaran hitam menandakan lokasi sunspot
1161 tempat terjadinya flare dan tanda panah menunjukkan tampak seperti material
yang terlontarkan (dilihat dalam mode video). Sumber: http://spaceweather.com
41
57. Gambar IV.10: Screenshot video coronagraph diambil menggunakan satelit
STEREO behind tanggal 15 Februari 2011 saat terjadinya flare. Sumber:
http://spaceweather.com
42
58. Bab V
PENGEMBANGAN
INTERFEROMETER JOVE DUA
ELEMEN
V.1 Interferometry
Teleskop optik maupun radio membutuhkan area pengumpul sinyal yang jauh
lebih besar dari panjang sinyal elektromagnetiknya untuk mendapatkan res-
olusi yang tinggi. Bagi teleskop optik tidak terlalu sulit, karena panjang
gelombang optik sangat kecil, yaitu dalam rentang sekitar 380-780 nanometer.
Sedangkan bagi teleskop radio akan menjadi masalah besar, karena panjang
gelombang radio jauh lebih besar, sehingga secara teknis akan sulit memban-
gun teleskop radio dengan diameter hingga puluhan kilometer.
Gambar V.1: Diagram interferometer dua elemen. Sumber: http://fringes.org/
Interferometer radio bisa menjadi jawaban keterbatasan resolusi pada tele-
skop radio. Metode yang digunakan adalah menggunakan dua atau lebih ele-
men antena kecil untuk mengamati obyek yang sama, yang digunakan untuk
43
59. mensimulasikan komponen-komponen sebuah antena yang besar, seperti di-
ilustrasikan pada Gambar V.1. Dengan cara ini, bisa didapat resolusi yang
tinggi.
Gelombang radio dari sumber langit secara berurutan datang secara sefase
(in phase) dan tidak sefase (out of phase) seiring rotasi bumi. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran perbedaan jarak antara kedua elemen terhadap sum-
ber (Gambar V.1). Jika sinyal dari kedua elemen yang digabung (korelasi)
akan membentuk pola-pola interferensi seperti juga pada panjang gelombang
optik.
Untuk interferomter dua elemen, dengan jarak antara antena tertentu, akan
dibentuk pola beam seperti contoh pada Gambar V.2. Ada dua jenis pola pada
gambar tersebut yaitu beam yang akan mendeteksi interferensi membangun (in
phase) dan beam yang mendeteksi interferensi melemahkan (out of phase).
Gambar V.2: Pola radiasi atau deteksi antena. Pola interferensi membangun
digambarkan dengan warna merah dan yang melemahkan digambarkan dengan war-
na hijau. Sumber: http://fringes.org
Dengan mengubah jarak antar antena (baseline), kita bisa mempelajari
bentuk dari obyek yang kita amati. Baseline yang panjang akan meningkatkan
jumlah pola beam antena sehingga akan meningkatkan resolusi dan bisa digu-
nakan untuk mempelajari obyek dengan bentuk kecil (Gambar V.3). Sedan-
44
60. gkan baseline yang pendek bisa digunakan untuk mempelajari obyek dengan
bentuk besar.
Gambar V.3: Perbandingan pola beam atau power pattern antara interfero-
meter yang memiliki baseline 20 meter (kiri) dan 150 meter (kanan). Sumber:
http://fringes.org/
Interferomter yang memiliki baseline berbeda, jika masing-masing sinyal
dari masing-masing antena tiap sistem interferometer dikorelasikan, akan mem-
bentuk pola fringe yang berbeda pula. Sseperti yang ditunjukkan pada Gam-
bar V.4, untuk baseline yang panjang, akan didapat pola fringe yang lebih
rapat. Sedangkan baseline yang pendek akan membentuk pola fringe yang be-
sar dan lebar. Pengaruh yang lain yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mem-
bentuk satu gelombang penuh pada fringe. Untuk fringe yang rapat, akan
membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk membentuk satu pola gelom-
bang penuh. Sedangkan fringe yang besar akan memiliki perilaku sebaliknya.
Hasil fringe yang didapat dari interferomter JOVE akan terlihat seperti pa-
da Gambar V.5. Gambar ini merupakan hasil dari interferometer JOVE yang
dikembangkan David Brodrik dari Swinburn University dan para astronom ra-
dio professional dari ATNF, Narrabri, Australia (http://fringes.org). Sedan-
gkan perbedaan fringe untuk baseline yang memiliki panjang berbeda, pada
pengamatan nyata, akan tampak seperti Gambar V.6.
45
61. Gambar V.4: Hasil korelasi dari masing masing antena. Sumber:
http://fringes.org/
Gambar V.5: Data fringe yang didapat dari interferomter JOVE. Sumber:
http://fringes.org/
46
62. Gambar V.6: Perbedaan hasil fringe dari pengamatan dengan baseline yang berbe-
da. Biru untuk baseline 30 m Timur-Barat dan Oranye untuk baseline 135 m Timur-
Barat. Sumber: http://fringes.org
47
63. V.2 Lokasi Antena dan Baseline
Sistem interferometer JOVE dua elemen yang dibangun di Observatorium
Bosscha berlokasi di lokasi yang mudah ditemukan. Antena pertama dengan
nama AJ-TB1 berada di samping teleskop Transit dekat Pos Satpam di Ob-
servatorium Bosscha. Sedangkan antena kedua dengan nama AJ-TB2 berada
di dekat ruang kontrol radio. Diagram antena dan sistem interferomter secara
keseluruhan bisa dilihat pada Gambar V.7. Sedangkan posisi antena jika dili-
hat dari atas menggunakan bantuan Google Earth ditunjukkan pada Gambar
V.8.
Gambar V.7: Diagram sistem interferometer radio JOVE
Ruang kontrol radio juga digunakan sebagai ruang penyimpanan data,
monitoring dan juga korelator. Maing - masing antena disalurkan melalui
kabel coaxial RG 6/U ke ruang kontrol radio. Pekerjaan penyambungan ka-
bel ini didahului dengan menyiapkan jalur yang akan dilewati kabel terutama
persiapan jalur yang melewati jalan di dekat portal masuk dekat Pos Satpam
Observatorium Bosscha. Jalur ini dipersiapkan dengan memperbesar jalur ka-
bel internet yang sudah lebih dulu ada. Jalur ini juga dilengkapi kotak kontrol
untuk mempermudah perawatan atau pengembangan lebih lanjut.
Setelah jalur pengkabelan sudah selesai dipersiapkan, pekerjaan selanjut-
nya adalah mengukur panjang kabel yang diperlukan untuk menyambung ante-
48
64. Gambar V.8: Lokasi Antena Interferometer JOVE di Observatorium Bosscha dan
baseline. Sumber: Google Earth
Tabel V.1: Spesifikasi Feedlines Interferometer Awal (November 2010)
Antenna Panjang (meter) Lambda
AJ-TB1 110,18 9
AJ-TB2 12,28 1
na AJ-TB1 ke ruang radio. Dari pengukuran yang dilakukan, didapat panjang
sekitar 174 meter. Untuk mengakomodasi jarak tersebut, diperlukan kabel de-
ngan panjang 9 λ atau sekitar 110,18 meter. Sedangkan feedlines untuk AJ-
TB2 menggunakan kabel dengan panjang 1 λ pada saat awal-awal percobaan.
Setelah datang kabel yang baru, feedlines AJ-TB2 diganti dengan panjang
yang sama dengan feedlines AJ-TB1.
Kabel yang digunakan merupakan kabel sisa pengembangan sebelumnya.
Pengukuran panjang kabel menggunakan meteran biasa dengan ketelitian mm.
Meteran ini memiliki panjang maksimum 50 meter sehingga untuk mengukur
jarak yang panjang dilakukan pengukuran berulang secara estafet dengan
memberikan tanda merah pada kabel setiap 50 meter.
49
65. V.3 Receiver
Receiver yang digunakan adalah receiver rakitan sendiri, yaitu yang dirakit
oleh Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro (STEI-ITB).
Desain tetap mengacu pada desain receiver dari NASA Radio JOVE project
tetapi menggunakan komponen yang berasal dari sumber lokal.
Diagram antena dan receiver sama dengan desain radio JOVE, tetapi di-
lakukan modifikasi pada bagian LO/Mixer untuk keperluan interferomter ini
(Gambar V.9). Sedangkan posisi receiver di ruang kontrol radio bisa dilihat
pada Gambar VI.8.
Gambar V.9: Diagram block sistem interferomter Jove
V.3.1 Local Oscillator
Local Oscillator merupakan bagian kunci dari gelombang yang ditangkap da-
lam sistem interferometer. Gelombang yang ditangkap kedua antena dikunci
oleh LO ini untuk memastikan gelombang yang ditangkap kedua receiver sama.
Sehingga dalam sistem ini, dibutuhkan satu LO untuk menjalankan dua re-
ceiver (Gambar V.9).
50
66. Gambar V.10: Diagram block sistem interferomter JOVE.
V.4 Software
Ada dua software utama yang digunakan dalam sistem atau pengamatan in-
terferomter JOVE dua elemen ini. Yang pertama yaitu scope dan yang kedua
adalah Simple Audio Correlator (SAC).
V.4.1 Scope
Scope merupakan jenis software yang digunakan untuk melihat bentuk gelom-
bang. Software ini digunakan untuk melihat fasa dari sinyal audio yang masuk
ke komputer. Peran Scope sebenarnya sebagai pengganti Oscilloscope yang
rusak di Observatorium Bosscha. Scope mendeteksi dan menganalisa sinyal
yang masuk lewat soundcard. Scope berjalan pada sistem operasi Windows
dengan screenshot seperti pada Gambar V.11.
V.4.2 SAC
David Brodrik dari Swinburn University telah mengembangkan software cor-
relator yang berbasis soundcard pada interferometer JOVE dua elemen. Soft-
ware ini diberi nama Simple Audio Correlator (SAC). Program SAC berjalan
51
67. Gambar V.11: Screenshot scope.
pada sistem operasi LINUX.
Beberapa kelengkapan yang bisa dilakukan software ini adalah:
• Setiap detik atau dalam rentang waktu tertentu (dapat diatur) merekam
total power dari masing-masing channel dari soundcard dan juga melakukan
cross correlation (untuk interferomter).
• Bisa melakukan penyimpanan data sehingga bisa dilakukan analisis lebih
lanjut.
• Beroperasi dalam mode client atau server, sehingga datanya bisa diakses
lewat internet.
• Algoritma otomatis untuk menghilangkan interferensi spike yang muncul
secara tiba-tiba seperti dari saklar listrik sekitar yang dinyalakan atau
juga interferensi dengan durasi panjang seperti pemancar radio yang
bekerja pada frekuensi yang sama.
• Dapat merekam data mentah soundcard untuk periode tertentu misalnya
satu hari atau satu minggu sehingga bisa dibuat file audio .wav kapan-
pun.
52
68. • Dapat dilakukan perata-rataan data dari hari yang berbeda bersama
berdasar waktu siderisnya untuk menaikkan signal-to-noise rasio dan ju-
ga untuk mengisi celah pada data yang disebabkan Radio Frequency In-
terference (RFI).
• Bisa menulis data dalam format ASCII sehingga bisa dilakukan analisis
lebih lanjut dengan software yang berbeda.
• Bisa dilakukan editing data secara manual misalnya untuk menghilangkan
RFI yang lolos dari algoritma otomatis, atau untuk menambah offset
chanel agar bisa membentuk grafik yang bagus.
• Disertakan data contoh yang bisa dipergunakan untuk melihat hasil soft-
ware ini.
• Software ini gratis (GPL)
Sistem Operasi Linux
David Brodrik mengembangkan software SAC untuk berjalan dalam Sistem
Operasi Linux. Dalam webnya dia memberikan catatan tentang syarat yang
diperlukan untuk menjalankan software ini, yaitu:
• Linux dengan Kernel 2.4, tetapi agak bermasalah dengan multi-threading
pada Kernel dibawah 2.6.
• pgplot
• g++
• libx11-dev, libc6-dev, libpng-dev, dan librari lain jika diperlukan.
V.5 Kalibrasi
Kalibrasi yang dilakukan adalah kalibrasi fasa. Kalibrasi fasa perlu dilakukan
jika kita ingin fringe yang kita dapatkan bisa bermakna secara astronomis.
Artinya, dengan fringe yang didapat, bisa diekstrak informasi tentang posisi
benda langit yang terdeteksi.
Berikut ini akan dibahas tentang metode kalibrasi interferometer radio
JOVE yang sudah dilakukan di Narrabri, Austrailia. Karena keterbatasan
53
69. waktu dan instrumen, untuk interferometer radio JOVE Bosscha belum di-
lakukan kalibrasi.
Pada intinya, proses kalibrasi ini dilakukan agar sinyal yang datang dari
antena secara bersamaan, harus sefasa pada komputer/correlator. Bisa jadi
sinyal yang ditangkap antena secara bersamaan tidak sefasa ketika sampai di
komputer/correlator. Hal ini bisa disebabkan oleh panjang fisik jalur transmisi
yang tidak sama dan atau panjang kabel yang digunakan untuk sinyal LO tidak
sesuai. Sehingga, perlu dilakukan penyesuaian panjang kabel agar didapat
sinyal sefasa.
Dibutuhkan osscilloscope untuk melihat dan membandingkan dua bentuk
gelombang dari output audio masing-masing receiver. Jika tidak ada osscillo-
scope, bisa digunakan PC soundcard dan software pelihat bentuk gelombang.
Atur sama volume masing-masing receiver. Lepas semua speaker dari receiv-
er, karna jika receiver mendapat beban yang berbeda, pengukuran fasa bisa
terpengaruh.
Jika fasa yang diterima sama, maka akan tampak seperti Gambar (V.12)dan
pada grafik gelombang X Vs Y akan membentuk garis 45◦
.
Gambar V.12: Fasa sejajar. Sumber: http://fringes.org
Jika fasenya quadrature atau memiliki beda fasa 90◦
, maka akan memben-
tuk lingkaran (Gambar V.13).
Pola selengkapnya bida dilihat pada Gambar V.14 yang menunjukkan be-
berapa nilai beda fasa dan grafik XY atau biasa disebut juga sebagai pola
Lissajous yang diambil dari nama fisikawan Prancis Jules Antoine Lissajous.
Jika sinyal tidak sefasa, maka mereka akan memiliki puncak gelombang
pada waktu yang berbeda. Jika bisa ditentukan perbedaan waktu puncak
(Terr) dan juga periode satu gelombang penuh (Tcyc), maka bisa ditentukan
54
70. Gambar V.13: Fasa quadrature. Sumber: http://fringes.org
Gambar V.14: Berbagai perbedaan fasa dan bentuk grafik lissajous-nya. Sumber:
http://www.hobbyprojects.com
55
71. error fasanya menggunakan persamaan:
Perr = 360(Terr/Tcyc)derajat (V.1)
Kita juga bisa mengukur berapa panjang kabel delay untuk menyesuaikan
fasanya (Ladj) dengan persamaan :
Ladj = (Terr/Tcyc)(V f ∗ Lwav) (V.2)
dimana Vf adalah Velocity factor dari kabel koaksial dan Lwav adalah panjang
satu gelombang di ruang bebas.
Cara lain untuk mengkalibrasi fasa adalah dengan menggunakan sumber
astronomis yang sebenarnya (tentu saja instrumen harus sudah bisa mende-
teksi fringe). Kalibrator yang baik adalah sumber radio yang kecil dan ’terang’
di mana saat transit, tidak ada sumber lain di langit. Periode solar continuum
storming matahari merupakan kalibrator fasa yang ideal kerena merupakan
sumber titik dan ’terang’.
Idenya adalah untuk membandingkan waktu transit sumber kalibrator de-
ngan waktu central lobe pada pola fringe yang terdeteksi. Jika LO receiver
sefasa, dan panjang feedlines antena sama, maka kita akan mendapatkan nilai
fringe maksumum saat transit. Jika fringe tidak sesuai dengan yang diharap-
kan, kita bisa melakukan pendekatan ukuran panjang kabel delay LO dengan
persamaan berikut:
Ladj ∼= (V f ∗ Lwav)(Terr/Tfringe) (V.3)
Dengan;
Ladj = Kabel yang dibutuhkan untuk penyesuaian LO delay (m).
Lwave = Panjang gelombang frekuensi LO pada free space (m).
Vf = Velocity factor dari kabel koaksial delay (rasio ¡ 1,0).
Terr = Perbedaan waktu antara pusat fringe yang teramati dengan yang
diprediksi.
Tfringe = waktu yang dibutuhkan untuk membentuk satu fringe penuh, dihi-
tung mulai dari pusat lobe ke fringe yang berdekatan.
Gambar V.15 menunjukkan contoh kalibrasi dari sumber kalibrator Cen-
taurus A yang diamati dari Narrabri, Australia (http://fringes.org) tanggal 11
Mei 2002 dengan baseline 150 meter.
CenA transit pada LST 13:25.5, pada garis vertikal ungu. Ketika kita men-
gukur nilai maksimum lobe pusat, ditemukan terjadi pada 13:29.4, memiliki
nilai error (Terr) 3,9 menit.
56
72. Gambar V.15: Kalibrasi menggunakan sumber radio astronomi Centaurus A. Sum-
ber: http://fringes.org
Kita mengukur durasi satu fringe penuh, Tfringe, pada 30,3 menit. Bi-
asanya lebih baik Tfringe ditentukan dengan merata-ratakan dua fringe yang
berdekatan. Pada prakteknya juga sering dilakukan pengukuran fringe dari
titik persilangan nol daripada dari titik puncaknya.
Misalnya kita melakukan pengamatan pada 20 MHz (Lwave = 15 m) dan
akan menggunakan kabel koaksial RG-6/U untuk kabel delay dengan Vf 0,82.
Sehingga kita perlu malakukan penyesuaian sebesar:
Ladj ∼= (0, 82 ∗ 15)(3, 9/30, 3) ∼= 1, 58meter (V.4)
Sedangkan untuk interferometer JOVE Observatorium Bosscha baru di-
lakukan pengetesan fasa secara kualitatif untuk melihat bentuk gelombangnya
menggunakan software scope dengan hasil seperti pada Gambar V.16, Gambar
V.17, dan Gambar V.18.
57
73. Gambar V.16: Perbedaan sinyal sefasa dan tidak sefasa receiver. Sinyal ini meru-
pakan sinyal dasar dari masing-masing receiver (antena tidak tersambung). Dari
percobaan, sinyal bisa berubah fasa 180 derajat dengan membalik sambungan listrik
yang tersambung dengan terminal.
Gambar V.17: Antena tersambung satu (kiri) dan antena tersambung semua
(kanan)
58
75. V.6 Peralatan Pendukung
Ada beberapa peralatan yang dapat digunakan untuk membantu atau mem-
permudah saat pengamatan interferomter berlangsung. Dua hal yang dirasa
paling membantu adalah speaker dan oscilloscope/waveform viewer.
• Sound System atau speaker
sound system atau speaker yang diperlukan adalah yang stereo karena
untuk memantau secara langsung sinyal dari masing-masing receiver.
Pemantauan ini diperlukan untuk memastikan bahwa sinyal dari masing-
masing receiver telah diterima komputer. Oleh sebab itu, input dari
speaker ini merupakan output audio dari komputer.
• Oscilloscope atau waveform viewer
Peran oscilloscope atau waveform viewer disini mirip dengan speaker,
tetapi pada mode visual.
60
76. Bab VI
TESTING DAN PENGAMATAN
INTERFEROMETER JOVE
VI.1 Metode Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan cara merekam data dari dua receiver dan dua
antena secara simultan. Konfigurasi yang digunakan adalah AJ-TB1 disam-
bung dengan receiver 2 dan AJ-TB2 dengan receiver 1. Tidak ada alasan
khusus mengenai pemilihan konfigurasi ini selain hanya untuk memudahkan
dalam praktik pengamatan saja. Receiver 1 disambung dengan AJ-TB2 yang
berada lebih dekat dengan ruang radio, sedangkan receiver 2 disambung de-
ngan AJ-TB1 yang posisinya lebih jauh dari AJ-TB2 terhadap ruang radio.
Proses pengambilan data dilakukan terus menerus selama pengamatan de-
ngan syarat cuaca mendukung. Cuaca buruk seperti petir bisa merusak sis-
tem. Sehingga secara berkala harus dipantau untuk berjaga-jaga jika terjadi
perubahan cuaca yang memburuk.
Tidak ada ketentuan tentang lama pengamatan, yang paling berpengaruh
adalah cuaca. Jika cuaca baik, artinya tidak hujan yang berpotensi petir,
maka pengamatan masih bisa dilakukan. Namun, jika cuaca memburuk, ter-
pakasa peralatan dimatikan dan sambungan ke antena semua dilepas. Hal ini
dilakukan untuk menghindari induksi petir yang bisa merusak peralatan.
VI.2 Testing Pengamatan dan Data Pengamatan
Testing pengamatan dilakukan beberapa kali. Testing pengamatan dilakukan
dengan metode monitoring, yaitu peralatan diaktifkan semua dan dibiarkan
terus merekam data dan melakukan korelasi dari masing-masing antena dan
receiver.
61
77. VI.2.1 Pengamatan 1 (3 November 2010)
Pengamatan pertama dilakukan pada tanggal 3 November 2010. Pengamatan
ini sebenarnya hanya testing software SAC yang akan digunakan dalam penga-
matan interferometer. Testing ini dilakukan untuk persiapan sebelum pe-
masangan feedlines dari masing-masing antena untuk memastikan kesiapan
dari sisi software. Sehingga ketika feedlines selesai dipasang, pengamatan inter-
feromter langsung bisa dilakukan tanpa ada masalah dengan software. Gambar
VI.2.1 merupakan hasil dari testing pengamatan ini dan juga merupakan first
light dari software ini (bukan first light interferomter).
Tidak ada konfigurasi feedlines yang digunakan karena pada testing ini
hanya digunakan satu buah receiver saja.
software, 3 November 2010]First Ligth software, 3 November 2010. Hasil
pengamatan ditunjukkan pada jendela dengan latar belakang berwarna hi-
tam yang disebut sebagai jendela data. Ada dua bagian pada jendela terse-
but, yaitu bagian atas dan bawah. Bagian atas menunjukkan nilai power dari
masing-masing kanal soundcarad. Sedangkan bagian bawah adalah hasil cross
correlation dari power kanal kiri (left channel) dengan power kanal kanan (right
channel).
62
78. VI.2.2 Pengamatan 2 (6 November 2010)
Berikut adalah hasil testing pengamatan pada tanggal 6 November 2010 sela-
ma 24 jam. Pengamatan dimulai sekitar jam 11:00 WIB sampai jam yang sama
hari berikutnya. Pengamatan ini merupakan pengamatan pertama dalam sis-
tem interferomter. First light interferometer bisa dilihat pada Gambar VI.2.
Feedlines yang digunakan yaitu kabel koaksial RG-6/U dengan panjang untuk
AJ-TB1 yaitu 9 λ (110,18 m) dan untuk AJ-TB2 yaitu 0,5 λ (6,19 m). Peng-
gunaan panjang feedlines ini hanya berdasar pada ketersediaan kabel feedlines
yang ada.
Gambar VI.2: First light Interferometer, 6 November 2010. Pada bagian pow-
er, kanal kiri ditunjukkan dengan warna hijau sedangkan kanal kanan ditunjukkan
dengan warna merah muda.
Sedangkan hasil pengamatan seluruhnya (selama 24 jam) untuk testing
ini bisa dilihat pada Gambar VI.3. Pada gambar tersebut terdapat profil
gelombang naik turun yang disebut fringe. Tapi sampai tahap ini, belum
diketahui sumber dibalik fringe yang didapat.
Pada jendela data (latar belakang hitam) bagian power akan terdeteksi
power dari masing-masing kanal soundcard. Kanal kiri ditunjukkan dengan
warna hijau dengan nilai rata-rata berupa garis biru. Sedangkan kanal kanan
ditunjukkan dengan warna merah muda dengan garis merah sebagai nilai rata-
ratanya. Untuk data bagian cross correlation hanya berupa warna merah
dengan garis putih sebagai nilai rata-ratanya.
63
79. Gambar VI.3: Testing pengamatan 6 November 2010 sekaligus first fringe Inter-
ferometer
64
80. VI.2.3 Pengamatan 3 (13 November 2010)
Pengamatan yang ke-3 dilakukan tanggal 13 November 2010. Pengamatan ini
juga dilakukan selama 24 jam dimulai dari sekitar jam 10:00 WIB sampai wak-
tu yang sama pada hari berikutnya. Tidak ada alasan khusus dalam pemilihan
waktu mulai pada testing pengamatan ini dan juga testing pengamatan yang
lain.
Hasil pengamatan ini bisa dilihat pada Gambar VI.4. Pada gambar terse-
but tercatat dimana nilai power tampak rendah dan stabil membentuk garis
lurus. Kejadian ini bertepatan dengan waktu dini hari, mulai sekitar jam 00:00
WIB sampai sekitar jam 05:00 WIB. Jika dikonfirmasi dari suaranya memang
pada waktu ini sama sekali tidak ada interferensi pemancar radio lokal seperti
yang terjadi waktu siang hari atau malam. Tetapi kejadian ini tidak terjadi
pada pengamatan ke-2 dan sayang sekali tidak sempat tercatat kondisi suara
pada saat pengamatan ke-2 sehingga tidak bisa membandingkan kondisi in-
terferensi pemancar radio lokalnya. Pada saat bagian ini dilihat lebih detail,
tampak membentuk pola fringe dari hasil korelasi silangnya (Gambar VI.5 dan
VI.6).
Gambar VI.4: Testing pengamatan tanggal 13 November 2010
65
81. Gambar VI.5: Testing pengamatan dini hari
Gambar VI.6: Testing pengamatan 14 november 2010 jam 01:00 - 03:00 WIB.
66
82. VI.2.4 Pengamatan 4 (28 Februari 2011)
Pengamatan interferometry yang ke-4 dilakukan setelah feedline AJ-TB2 di-
ganti menjadi 9 λ. Kabel yang semula, yaitu yang memiliki panjang 0,5 λ dan
1 λ masih ada, sehingga masih bisa dipakai jika ingin melakukan pengamatan
elemen tunggal.
Penggantian dilakukan dengan mengukur dulu panjang kabel agar sama an-
tara feedline AJ-TB1 dan AJ-TB2. Feedlline AJ-TB2 yang semula terpasang
setengah permanen saat dilakukan pengamatan 1-3 dibongkar kembali untuk
diukur ulang dan sebagai patokan untuk feedline AJ-TB2. Setelah diukur kem-
bali, feedline AJ-TB1 memiliki panjang tepat 9 λ atau sekitar 110,18 meter.
Kemudian kabel yang beru dipotong dengan panjang sama dengan feedline
AJ-TB1. Spesifikasi feedlines interferomter ini bisa dilihat pada Tabel VI.1.
Gambar VI.7: Pengukuran dan pemberian label masing-masing feedline (kiri) dan
penimbunan feedline di sekitar AJ-TB1 (kanan).
Tabel VI.1: Spesifikasi Feedlines Interferometer Akhir (Februari 2011)
Antenna Panjang (meter) Lambda
AJ-TB1 110,18 9
AJ-TB2 110,18 9
Pengukuran panjang kabel juga disertai pemberian label dari masing-masing
kabel. Label diberikan pada rentang 20 meter. Pemilihan angka 20 bersifat
kualitatif yaitu tidak telalu besar dan tidak terlalu pendek. Selain jarak, label
juga diberikan untuk menandai kabel antena masing-masing. Penandaan ini
dimaksudkan untuk memudahkan dalam perawatan nanti atau saat operasion-
al pengamatan.
Kondisi ruang radio saat dilakukan testing pengamatan ini bisa dilahat
67
83. pada Gambar VI.8. Gambar tersebut menunjukkan kondisi ruang radio setelah
ditata ulang dan digunakan untuk testing pengamatan.
Pengamatan seluruhnya pada testing ini dilakukan selama sekitar 65 jam
atau hampir tiga hari berturut-turut. Dimulai pada tanggal 28 Februari 2011
sekitar jam 15:30 WIB sampai tanggal 3 Maret 2011 sekitar jam 08:30 WIB.
Hasil pengamatan ini bisa dilihat pada Gambar VI.9.
Pada testing pengamatan ini juga didapat nilai power yang stabil setiap
dini hari seperti pengamatan ke-3. Gambar detail pada saat itu bisa dilihat
pada Gambar fig:kosongdinihr. Belum diketahui pula penyebab pasti dari
perilaku ini. Mungkin kasusnya sama dengan pengamatan ke-3.
Gambar VI.8: Ruang radio saat pengamatan 28 Februari 2011. Tampak kabel
AJ-TB2 yang digulung di sebelah kanan meja.
68
84. Gambar VI.9: Screenshot hasil pengamatan interferometer selama sekitar 65 Jam
mulai tanggal 28 Februari 2011 sampai 3 Maret 2011.
69
85. Gambar VI.10: Screenshot detail bagian data yang stabil dan membentuk garis
lurus. Gambar atas menunjukkan hari pertama, kiri bawah hari kedua, dan kanan
bawah hari ketiga. Profilnya hampir sama hanya tampak perbedaan yang tidak
terlalu besar.
70
86. Bab VII
KESIMPULAN
VII.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan testing pengamatan, ada beberapa hal yang
bisa disimpulkan. Pengembangan antena telah dilakukan dengan baik dan
bisa bekerja dengan baik pula. Testing masing-masing antena, secara kuali-
tatif juga menunjukkan hal positif. Testing pengamatan menggunakan receiver
original, secara beruntung, juga sempat mendapat semburan radio matahari
saat flare tanggal 15 Februari 2011. Dengan data ini membuat kita semakin
yakin dengan performa kerja antena dan receiver original.
Namun selain keberhasilan sistem di atas, ada beberapa yang masih menda-
pat catatan. Pengamatan secara interferometry menggunakan receiver rakitan
sendiri masih menunjukkan performa yang kurang. Masih terlalu banyak inter-
ferensi radio broadcasting terestrial yang masuk dibandingkan receiver orisinil
(dari NASA Radio Jove Project). Masalah ini sudah diidentifikasi sejak awal-
awal pengembangan, tetapi setelah dilakukan perbaikan di LTRGM, masih
tidak telalu terlihat perubahannya. Sehingga perlu dilakukan berbagai langkah
perbaikan lagi terhadap receiver lokal.
Tidak teraturnya fringe atau data interferomter yang didapat, diduga dise-
babkan oleh receiver-nya. Jika receiver sudah lebih baik dan bisa mendeteksi
fringe, kita bisa melakukan pekerjaan selanjutnya seperti kalibrasi fasa dan
pendalaman software-nya.
VII.2 Perspektif
Pekerjaan pengembangan teleskop radio dan interferomter JOVE ini memang
belum selesai penuh. Dari pengembangan dan percobaan yang telah dilakukan
membuat kita semakin mengerti tentang astronomi radio frekuensi rendah,
mulai dari teori, instrumentasi, teleskop radio elemen tunggal sampai interfer-
omtery dua elemen. Dengan begitu kita juga bisa merencanakan pengembang-
an lebih lanjut dari pengetahuan yang telah didapat.
71
87. Kemampuan receiver bisa ditingkatkan dalam pengembangan lanjutan, se-
hingga didapat data yang lebih bersih dan ’mudah’ diidentifikasi makna fi-
sisnya. Beberapa antena bisa ditambahkan untuk membangun sistem inter-
feromter yang lebih kompleks. Dari pengembangan lanjutan ini diharapkan
didapat citra radio pada frekuensi rendah.
72
88. DAFTAR PUSTAKA
[1] Flagg, R.S. 2000. Listening ti Jupiter. Radio-Sky Publishing, Kentucky.
[2] Hidayat, T., Irfan, M., Dermawan, B., Suksmono, A.B., Mahasena, P.,
Herdiwijaya, D. 2010. Development of Radio Astronomy at the Boss-
cha Observatory. Dalam Proceedings of the Conference of the Indonesia
Astronomy and Astrophysics. Premadi et.al., ed., pp. 143-148.
[3] NASA Radio Jove Project, (http://radiojove.gsfc.nasa.gov/)
[4] Garcia, L. The Jovian Decametric Radio Emission. NASA Radio JOVE.
(http://radiojove.gsfc.nasa.gov/library/sci briefs/decametric.htm)
[5] Garcia, L., The Discovery of Jupiter’s Radio Emissions. NASA Radio
JOVE. (http://radiojove.gsfc.nasa.gov/library/sci briefs/discovery.htm)
[6] UFRO. (http://ufro1.astro.ufl.edu)
[7] Brodrik, D. 2004. Fringe Dwellers, Narrabri. (http://fringes.org/)
[8] Hey, J.S. 1971. The Radio Universe. Pergamon, Oxford.
[9] National Radio Astronomy Observatory (NRAO).
(http://www.nrao.edu/index.php/learn/radioastronomy/radiowaves)
[10] Spaceweather.com. (http://spaceweather.com/)
[11] Bradt, H. 2004. Astronomy Method. Cambridge, New York.
[12] Green Bank Solar Radio Bursts Spectrometer (GBSRBS).
(http://gbsrbs.nrao.edu/)
73